Semarang — Lawang Sewu Short Film Festival (LSSFF) 2025 memberikan Anugerah Achievement Award kepada sineas senior Heru Sugiarto Sudjarwo sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan pengabdian panjangnya di dunia perfilman Indonesia. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, dalam rangkaian puncak LSSFF 2025.
Penghargaan ini menjadi pengakuan atas kontribusi Heru Sudjarwo yang konsisten sejak awal 1980-an, baik sebagai sutradara, penata artistik, maupun desainer produksi, yang turut membentuk estetika visual film Indonesia lintas generasi. Melalui tangan kreatifnya, Heru terlibat dalam berbagai film penting dari era klasik hingga kontemporer.
Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti menyampaikan bahwa Achievement Award LSSFF 2025 diberikan kepada figur yang tidak hanya berkarya, tetapi juga memberi teladan dalam pengabdian budaya. “Pak Heru Sudjarwo adalah sosok yang bekerja senyap namun meninggalkan jejak kuat dalam sejarah perfilman Indonesia,” ujarnya.
Heru Sugiarto Sudjarwo dikenal luas melalui kiprahnya sebagai penata artistik pada film-film populer seperti Bukan Sandiwara (1981), RA Kartini (1982), Wolter Mongisidi (1983), hingga Catatan Si Boy (1987). Sejak pertengahan 1980-an, ia lebih banyak berperan sebagai production designer, menangani sejumlah film yang menonjolkan kekuatan visual dan tata artistik.
Selain karya film, Heru juga berkontribusi penting dalam dunia festival dan penghargaan perfilman nasional. Ia tercatat sebagai perancang Piala Njoo Han Siang (2004) dan turut mengoordinasikan desain Piala Citra Festival Film Indonesia yang digunakan sejak 2008. Atas pengabdiannya, Heru sebelumnya menerima Apresiasi Kesetiaan Bidang Perfilman dari Presiden Republik Indonesia pada 2019.
LSSFF 2025 menilai Achievement Award ini sejalan dengan semangat festival dalam mendorong keberlanjutan sinema, khususnya film pendek dan ruang kreatif bagi generasi muda. Penghargaan kepada Heru Sudjarwo diharapkan menjadi inspirasi bahwa kerja panjang, kesetiaan pada proses, dan pengabdian pada budaya adalah fondasi utama kemajuan perfilman Indonesia. (Christian Saputro)




