Semarang – Di dalam bangunan Cagar Budaya Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang, riuh warna dan makna menyatu dalam sebuah peristiwa budaya yang tak biasa. Pameran lukisan yang dimotori Dinas Arsip dan Perpustakaan (Dinas Arsipus) Kota Semarang dalam rangka Festival Mustika Rasa 2025, berlangsung dari 26 -30 Juni 2025.
Namun tahun ini, yang membedakannya bukan hanya karya-karya bertema nasionalisme, melainkan juga hadirnya sebuah suara baru dalam dunia seni rupa—suara dari Komunitas Sahabat Difabel – Roemah D (KSD-RD).
Komunitas ini menghadirkan delapan lukisan hasil karya para anggotanya, seperti Zulfikar, Rizky, Yuni, Johan, Danang, dan lainnya.
Mereka bukan sekadar pelukis, tetapi penjaga semangat inklusi yang tak kenal batas. Di bawah bimbingan perupa Giovanni Susanto dan pendampingan penuh cinta dari Noviana Dibyantari, pendiri KSD-RD, para perupa muda ini menyuguhkan perspektif unik tentang dunia, dengan sapuan kuas yang jujur dan menggugah.
Pameran yang berlangsung dari 26 hingga 30 Juni ini menjadi magnet budaya tersendiri. Sabtu siang (28/6), Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar dan Wali Kota Semarang Agustina Pramesti Wilujeng mengunjungi lokasi pameran. Dalam balutan suasana akrab, mereka berbaur dengan para seniman muda dan menyelami karya demi karya yang terpajang. Salah satu momen menyentuh terjadi ketika Wali Kota Agustina bertanya pada Zul, apakah lukisannya dijual. Walikota kesengsem pada karya Zul bertajuk: “Wong Cilik” dan akhirnya meminangnya degan harga senilai lima juta rupiah.
Lukisan “Wong Cilik” bukan sekadar potret masyarakat kecil. Ia adalah narasi bisu tentang mereka yang hidup di garis rapuh kehidupan—para buruh, pedagang, dan petani—yang tetap tegar meski dunia tak selalu ramah. Goresan Zulfikar menampilkan wajah-wajah lelah namun bermartabat, sosok-sosok tanpa nama yang menyusun fondasi negeri. Dengan gaya realisme yang mengiris pelan, lukisan ini mengajak penonton merenung: bahwa kekuatan sejati bangsa ada pada mereka yang sering tak terdengar.
Tak hanya Zulfikar, pelukis muda Faradhela Happy Rahmadani juga mencuri perhatian. Gadis kelahiran 2003 ini menghadirkan warna-warna dari hati yang tegar. Meski hidup dengan rheumatoid arthritis, Faradhela terus melukis dengan jiwa yang lebih besar dari keterbatasan raganya. Ia bukan sekadar pelukis—ia adalah penjaga keberanian yang mewarnai harapan.
Festival ini bukan hanya tentang Bung Karno, bukan hanya tentang lukisan. Ia adalah refleksi dari semangat yang diwariskan: bahwa setiap manusia, apapun kondisinya, memiliki hak untuk berkarya dan didengar. Lukisan berjudul Refleksi Soekarno menjadi pengingat akan api semangat yang tak padam. Hijau dalam latarnya menghembuskan harapan, seperti kata Bung Karno, “Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Dalam konteks ini, pemuda difabel telah mengguncang hati pengunjung lewat seni.
Ragam karya yang tersaji membentuk sebuah galeri keberagaman. Dari lanskap pegunungan hingga jamur raksasa dalam dunia khayal, dari siluet kota hingga pohon kehidupan—semuanya bersuara tanpa kata. Suara tentang keteguhan, tentang keindahan, tentang mimpi-mimpi yang menolak dibatasi.
Zulfikar dan Goresan Wajah Sang Wali Kota
Di tengah suasana hangat yang merayakan seni dan keberagaman di Gedung Oudetrap, Semarang, sebuah momen sederhana namun sarat makna terjadi di sela-sela Pameran Lukisan Bung Karno. Di atas secarik kertas putih, dua tangan perempuan mencoretkan garis-garis ringan—bukan tangan seniman, melainkan milik Wali Kota Semarang Agustina Pramesti Wilujeng dan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar yang akan disempurnakan Zul menjadi lukisan. Di antara deretan kanvas yang bercerita, mereka mengguratkan sketsa spontan—sebuah wajah, kemungkinan besar cerminan dari semangat kepemimpinan yang lembut namun tegas.
Sketsa itu, yang lahir dari momen spontan dan penuh kehangatan, jatuh ke tangan seorang pemuda: Ahmad Zulfikar Fauzi. Seniman muda dari Komunitas Sahabat Difabel ini telah lebih dahulu menyentuh hati pengunjung lewat karyanya Wong Cilik—lukisan yang dengan berani menampilkan wajah-wajah rakyat kecil, yang akhirnya dipinang oleh Ibu Agustina sendiri.
Partisipasi Komunitas Sahabat Difabel di Festival Mustika Rasa 2025 bukan hanya sebuah keikutsertaan—ia adalah pernyataan. Bahwa seni adalah milik semua, dan setiap jiwa berhak menorehkan warnanya di kanvas kehidupan. Semangat KSD – RD terus gemakan semangat inklusi lewat jagad seni. (Christian Saputro)