Solo – Di jantung Kota Surakarta, Masjid Raya Sheikh Zayed Solo berdiri sebagai penanda persahabatan lintas bangsa dan lintas zaman. Ia bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan simbol perjumpaan nilai: spiritualitas Islam, keanggunan arsitektur Timur Tengah, dan keramahan budaya Jawa yang membumi.
Masjid ini merupakan hibah dari Pemerintah Persatuan Emirat Arab kepada Republik Indonesia, sebagai wujud persahabatan antara Presiden pertama Uni Emirat Arab, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, dengan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Dari hubungan historis itu, masjid ini tumbuh bukan hanya sebagai monumen diplomasi, tetapi juga sebagai ruang hidup yang menyatukan umat.
Arsitekturnya mengadopsi gaya Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi—dengan kubah-kubah putih menjulang, lengkung-lengkung simetris, dan ornamen kaligrafi yang halus—namun dihadirkan dengan skala dan konteks Solo yang tenang. Warna putih mendominasi, memantulkan cahaya matahari tropis sekaligus menghadirkan kesan bersih, lapang, dan damai. Setiap sudutnya dirancang untuk menenangkan mata dan menundukkan hati.
Masjid Raya Sheikh Zayed Solo tidak hanya memfasilitasi salat berjemaah, tetapi juga menyediakan ruang edukasi, sosial, dan budaya. Aksesibilitas yang ramah bagi lansia dan penyandang disabilitas menjadikannya contoh masjid inklusif, tempat setiap orang dapat beribadah tanpa rasa terasing. Jalur landai, ruang wudu yang mudah diakses, serta tata ruang yang terbuka mencerminkan nilai Islam sebagai rahmat bagi semesta.
Di halaman luasnya, jamaah datang dari beragam latar: warga Solo, musafir, peziarah, hingga wisatawan. Masjid ini menjadi titik temu antara ibadah dan perjumpaan sosial, antara hening doa dan percakapan kemanusiaan. Ia hidup bukan hanya pada waktu salat, tetapi juga dalam denyut keseharian kota.
Lebih dari bangunan megah, Masjid Raya Sheikh Zayed Solo adalah pernyataan nilai: bahwa iman dapat hadir dengan keindahan, bahwa persahabatan antarbangsa dapat diwujudkan dalam ruang ibadah, dan bahwa Islam dapat dirasakan sebagai pengalaman yang ramah, terbuka, dan menenteramkan.
Di Solo, masjid ini berdiri sebagai cahaya putih—mengundang siapa pun untuk singgah, menenangkan diri, dan pulang dengan hati yang lebih lapang. (Christian Saputro)




