Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya’ SKH Sumaterapost, tinggal di Semarang
Di bawah langit Semarang yang menyala lembayung, panggung di Simpang Lima menjelma menjadi ruang antara bumi dan kahyangan. Malam itu, Sabtu 8 November 2025, Wayang Orang Ngesti Pandowo menuturkan kisah agung: Mbangun Khayangan—sebuah lakon yang tak sekadar pentas, melainkan doa dan renungan bagi zaman yang semakin bising oleh pembangunan fisik, tapi kerap melupakan pembangunan jiwa.
Disutradarai oleh Ricky Padovano Lee (Budi Lee), dengan koreografi Paminto Kristina dan iringan musik Mas Ngabehi Giyantodiprojo (Githung Swara), pertunjukan ini memadukan disiplin klasik dengan sentuhan kontemporer. Setiap gerak, tabuhan, dan suluk terasa seperti bisikan semesta, mengingatkan manusia agar tak hanya menatap langit, tapi juga menyelami kedalaman batin sendiri.
Namun yang paling mencuri perhatian adalah kehadiran Walikota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, yang berperan sebagai Batara Guru. Ia tampil gagah sekaligus lembut, memimpin rapat para dewa—yang dalam lakon ini digambarkan sebagai forkompimda kahyangan—dengan moderator jenaka, Batara HRD yang diperankan Cak Lontong. Panggung pun menjadi jembatan antara dunia mitos dan realitas sosial. Di tangan para pejabat dan seniman, wayang menemukan kembali maknanya sebagai tontonan yang menuntun: mendekatkan nilai luhur pada masyarakat dengan cara yang akrab dan menghibur.
Dalam kisahnya, kahyangan yang megah sedang goyah. Bukan karena perang, tapi karena ketidakseimbangan hati. Batara Guru menyerukan pembangunan kembali kahyangan, bukan dalam arti membangun istana di langit, tetapi membangun keselarasan antara kekuasaan dan kebajikan. Semar, dengan kebijaksanaannya yang membumi, mengingatkan bahwa kekuatan tanpa keluhuran hati hanyalah bayang-bayang kosong.
Konflik antara ambisi dan pengabdian, antara cinta dan kuasa, menggulung seperti gelombang di lautan nurani. Raksasa-raksasa yang tamak menjadi simbol keserakahan manusia modern—yang ingin menjangkau langit, tapi lupa menapak bumi. Dari panggung inilah pesan mengalir halus: membangun kahyangan sejati bukan tentang menumpuk bangunan, tapi tentang menata hati.
Mbangun Khayangan menjadi semacam mantra peradaban. Ia mengingatkan bahwa pembangunan sejati dimulai dari dalam diri—dari ketulusan, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap semesta. Ketika panggung gelap dan gamelan terakhir berhenti, penonton tak sekadar bertepuk tangan. Mereka seperti diajak bercermin: sudahkah kita membangun kahyangan di dalam jiwa sendiri? (*)


