Yogyakarta – Ada aroma kayu tua dan gema nada yang seakan tertinggal di udara ketika pagi jatuh di Bantul. Di sebuah bangunan berwarna lembut, berdiri Andi Bayou Museum—ruang yang tak hanya memamerkan benda-benda, tetapi juga menghadirkan kembali denyut batin seorang musisi yang telah melewati lebih dari tiga dekade dalam dunia bunyi. Dari ruang inilah pameran arsip “Beyond The Notes – Andi Bayou” dibuka pada 4–7 Desember 2025, menghadirkan perjalanan kreatif yang jarang tersingkap ke hadapan publik.
Ruang Arsip yang Bernapas
Pameran ini tidak sekadar menata koleksi. Ia seperti menata ulang ingatan. Ada keyboard tua yang pernah dibawa manggung, master tape yang merekam malam-malam panjang di studio, foto buram dari sesi latihan tahun 90-an, hingga surat-surat pribadi yang mengungkap kelelahan, pencarian, dan kegembiraan seorang seniman.
Semua arsip itu tidak diam. Mereka seperti menyampaikan bisikannya sendiri—tentang bunyi yang dicari, nada yang patah, dan komposisi yang kembali dibangun ulang dengan kesabaran.
Dalam kuratorialnya Rizky Farhan N.S. dari prodi tata kelola seni ISI Yogyakarta menyebutkan bahwa proses kreatif Andi Bayou adalah perjalanan yang memadukan disiplin teknis dengan kepekaan spiritual. “Di sinilah “Beyond The Notes” menemukan rohnya: musik dipahami bukan sebagai hasil, melainkan lintasan batin,’ tanda Rizky.
Jejak yang Diukir Oleh Waktu
Andi Bayou—R. Andi Haryo Setiawan, S.H., M.H.—lahir di Yogyakarta, tumbuh di tengah disiplin dunia medis, namun memilih hidup dalam gelombang bunyi. Dari band Bayou, yang membawa namanya dikenal publik, ia kemudian menyusuri jalan yang lebih sunyi: ruang produksi, aransemen, dan penciptaan.
Di Jakarta, ia menjadi salah satu “tangan” yang membentuk wajah musik Indonesia. Ia ada di balik banyak produksi besar—dari Iwan Fals hingga Agnez Mo, dari Sheila on 7 hingga Kangen Band. Tak banyak yang tahu bahwa Andi adalah salah satu arsitek sonik yang ikut merekam perkembangan musik arus utama Indonesia satu dekade lebih.
Namun ditengah karier yang menanjak, ia memilih langkah berbeda: pulang ke Yogyakarta. Bukan sebagai mundur, tetapi sebagai kembali untuk menemukan kedalaman baru dalam bermusik. Pameran ini dengan lembut memetakan transformasi itu—dari gemuruh panggung Jakarta ke hening ruang penciptaan di Bantul.
Langkah Global, Akar yang Tetap Melekat
Perjalanan Andi tidak berhenti pada batas geografis Indonesia. Selama lima belas tahun ia bekerja sama dengan Roland, dua kali mengunjungi kantor pusat Hamamatsu. Ia hadir di Frankfurt Music Messe, juga di NAMM Show—dua altar besar bagi penggemar instrumen musik dunia. Hingga 2024, ia dinobatkan sebagai Artis Internasional Nord, sebuah pengakuan yang menempatkan namanya dalam peta keyboardist dan produser global.
Karya-karyanya sendiri bergema hingga penghargaan nasional. Tiga dari komposisinya—Welcome to the Sea of Love, Sunrise at Borobudur, dan Java War—masuk nominasi AMI Awards dalam tiga tahun berturut-turut. Java War, yang lahir dari penelusuran sejarah leluhurnya, direkam di The Cutting Room Studio, New York—studio yang pernah digunakan The Corrs, Boyzone, hingga Linkin Park.
Museum yang Menjaga Ingatan Musik Indonesia
Andi Bayou Museum, yang diresmikan pada Februari 2025, bukan sekadar ruang pamer. Ia adalah museum musik pertama di Indonesia yang dibangun secara mandiri oleh seorang seniman. Di dalamnya, ruang-ruang dirancang seperti fragmen kehidupan: ada studio rekaman interaktif, ruang pertunjukan kecil, zona edukasi, hingga meja kayu tempat Andi berkali-kali menuliskan notasi tangan.
Menurut Penanggungjawab Pameran “Beyond The Notes” Dr. Mikke Susanto, pameran ini memperlihatkan bagaimana arsip dapat menjadi tubuh yang hidup—menyimpan memori, tetapi juga memicu tafsir baru. ‘Di museum ini, arsip bukan benda mati; ia adalah jembatan antara ingatan, proses kreatif, dan perjalanan budaya suatu bangsa,’ ujar Mikke yang juga dikenal sebagai Arsiparis Seni Rupa Indonesia.
Ketika Bunyi Menjadi Renungan
Pada salah satu dinding, tertulis kutipan Andi Bayou:
“Musik bukan hanya tentang nada. Ia adalah perjalanan, tentang bagaimana manusia menemui dirinya di antara bunyi, waktu, dan ketulusan.”
Di ruang pamer yang hening itu, kalimat tersebut tidak hanya dibaca; ia terasa. Seolah seluruh arsip—mesin rekaman, notasi lusuh, potongan melodi yang tertinggal—menjadi saksi perjalanan panjang seorang musisi yang tidak pernah berhenti belajar mendengarkan semesta.
“Beyond The Notes” adalah undangan untuk memahami kembali arti bunyi. Untuk melihat bahwa setiap komposisi menyimpan lebih banyak dari apa yang terdengar. Dan bagi Andi Bayou, mungkin inilah cara paling jujur untuk pulang: menata ingatan, membaginya, lalu membiarkannya berbicara.
*) Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tinggal di Semarang.




