Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni rupa tinggal di Tembalang Semarang.
Di pelataran megah Candi Prambanan yang diselimuti keheningan pagi, duduklah seorang pria dengan ketenangan yang nyaris mistik. Ia tidak membawa kuas di tangan, karena kedua tangannya telah lama tak mampu berfungsi seperti biasa. Tapi di hadapannya, selembar kanvas mulai menyimpan bentuk-bentuk, warna, dan jejak waktu yang hidup.
Agus Yusuf namanya. Dengan kaki sebagai perpanjangan rasa dan karsa, ia menggoreskan lanskap Prambanan ke atas kanvas, seolah menghidupkan kembali kejayaan masa silam melalui sentuhan paling tulus yang dimilikinya. Setiap gerakan bukan sekadar aksi teknis, tetapi bagian dari ritual sunyi yang penuh ketekunan. Di atas rerumputan hijau dan naungan sejarah, Agus tengah membangun jembatan antara keterbatasan dan kebebasan.
Kanvas sebagai Ruang Doa dan Perlawanan
Seni baginya bukan tentang menguasai teknik, tapi tentang membangun relasi yang jujur antara batin dan dunia. Dan melalui lukisan Prambanan yang ia buat, kita seakan diajak menelusuri kembali jejak-jejak sejarah, melihat masa lalu dengan mata batin yang lebih lembut, lebih manusiawi.
Menjaga Warisan, Menghidupkan Makna
Agus Yusuf bukan hanya melukis candi—ia melukis kesadaran. Karyanya adalah pengingat bahwa warisan budaya tak hanya untuk dikagumi, tetapi juga untuk dijaga dan dihidupkan kembali, melalui cara-cara baru yang lahir dari keberanian.
Prambanan dalam lukisannya bukan sekadar cagar budaya. Ia adalah simbol kekuatan jiwa manusia untuk tetap berkarya, mencipta, dan memberi makna—meski dunia mungkin pernah memalingkan wajahnya.
Seni yang Lahir dari Ketulusan
Maka, jika kita bertanya apa makna seni, Agus Yusuf menjawabnya tanpa kata-kata—cukup dengan satu lukisan. Ia menunjukkan bahwa seni tidak memerlukan tubuh yang utuh, tapi jiwa yang penuh. Dan ketika jiwa itu menyatu dengan sejarah, dengan tanah air, dengan niat untuk berbagi dan menginspirasi—lahirlah karya yang bukan hanya indah, tapi abadi dalam rasa.
Lukisan jiwa dari pelataran Prambanan
Agus Yusuf – Seniman anggota AMFPA, Indonesia Karyanya bukan sekadar lukisan. Ia adalah puisi visual, doa yang tak terucap, dan perlawanan lembut terhadap stigma. Dalam tiap guratan, Prambanan menjelma bukan hanya sebagai objek seni, tetapi sebagai jiwa yang hadir kembali. Menara-menara candi berdiri agung, disandingkan dengan pepohonan dan langit yang dibangun dari nada-nada warna yang halus—menunjukkan betapa dalamnya rasa hormat seorang seniman terhadap warisan bangsanya.
Di bawah payung AMFPA—Association of Mouth and Foot Painting Artists of the World —Agus Yusuf tidak sekadar menunjukkan bahwa ia bisa melukis. Ia menunjukkan bahwa seni adalah ruang yang tidak pernah menutup diri pada siapa pun, bahwa penciptaan adalah hak setiap jiwa, tak peduli dalam kondisi fisik apa pun ia hidup.
Keterbatasan Bukan Akhir, Tapi Awal dari Sebuah Jalan
Dalam masyarakat yang sering mengukur nilai melalui kesempurnaan tubuh, Agus hadir sebagai pengingat: bahwa ketekunan, kepekaan, dan cinta pada budaya adalah hal-hal yang jauh lebih menentukan. Melalui kakinya, ia melampaui batas-batas tubuh, menjelma sebagai pelukis jiwa yang memaknai ulang keindahan dan ketabahan. (*)




