Nur Fadhilah, Iwan Tri Bowo
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Sumaterapost.co | Pringsewu – Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman global yang mengintai jutaan nyawa setiap tahunnya. Data WHO (2023) menunjukkan bahwa sekitar 10.6 juta orang di dunia menderita TBC pada tahun 2022, dan lebih dari 1.6 juta orang meninggal akibat TBC. Setiap hari, ribuan orang tertular TBC, dan yang lebih mengkhawatirkan, banyak di antara mereka tidak menyadari bahwa mereka sudah terinfeksi. Bayangkan ada bom waktu di dalam tubuh kita, tidak terlihat, tidak terasa, tetapi bisa meledak kapan saja, Itulah Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB), di mana kuman TBC bersembunyi diam-diam di tubuh kita tanpa menunjukkan gejala, tetapi sewaktu-waktu bisa berubah menjadi penyakit TBC aktif yang menular dan berbahaya. Jika tidak ditangani, ILTB bisa berubah menjadi TBC aktif yang menular dan membahayakan.
Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan beban TBC tertinggi kedua setelah India. Fakta ini sangat mengkhawatirkan, mengingat TBC adalah penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah. Setiap hari, ribuan orang terinfeksi, dan banyak dari mereka tidak menyadarinya hingga terlambat. Padahal, ILTB bisa dicegah agar tidak berkembang menjadi TBC aktif. Kuncinya dengan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT). TPT adalah langkah cerdas, aman, dan terbukti efektif untuk menghentikan penyebaran TBC sebelum berkembang menjadi penyakit yang mematikan.
Dengan memahami dan menerapkan TPT, kita bisa memutus rantai penularan dan menyelamatkan ribuan nyawa setiap tahunnya, termasuk diri kita sendiri dan orang-orang tercinta. Namun, masih banyak tantangan dalam implementasi TPT, yaitu; Kurangnya kesadaran, ketakutan terhadap efek samping, serta mitos dan stigma yang beredar di masyarakat.
TPT bertujuan untuk mencegah individu dengan infeksi laten TBC (ILTB) berkembang menjadi TBC aktif, yang sangat menular dan berbahaya. Hasil modeling yang dilakukan oleh Dye et al menunjukkan target End TB Strategy pada tahun 2035 hanya dapat dicapai dengan mengkombinasikan upaya pengobatan TBC aktif secara efektif dan upaya pencegahan TBC dengan pemberian TPT pada kasus ILTB. Pasien yang baru saja didiagnosis TBC, maka kontak serumah khususnya anak dianggap sebagai satu kesatuan penerima manfaat layanan TBC.
Mereka yang memiliki penyakit TBC aktif harus memulai pengobatan anti-TBC dan lainnya memulai TPT, tujuanya untuk mencegah orang ILTB yang berisiko menjadi sakit TBC dengan menjangkaunya sesegera mungkin untuk kemudian diberikan TPT. Namun, meskipun manfaatnya sudah terbukti, cakupan pemberian TPT masih sangat rendah. Data Kementerian Kesehatan RI (2022) menunjukkan bahwa cakupan TPT di Indonesia masih jauh dari target global, dengan hanya sekitar 30% dari mereka yang memenuhi syarat benar-benar menerima terapi ini. Beberapa tantangan utama dalam implementasi TPT termasuk rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, ketakutan terhadap efek samping obat, serta kurangnya deteksi dini infeksi laten TBC.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan capaian TPT di Indonesia tahun 2022 masih rendah yaitu dibawah 0.5% pada kontak serumah, meningkat 2.6% (35.006 orang) pada tahun 2023, namun demikian cakupan ini jauh dari target yang diharapkan 68%. Hasil studi tentang implementasi progaram TPT di beberapa wilayah sejak tahun 2012 s.d 2018 menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi dari tahun ke tahun selalu sama, yaitu; kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya TPT, kurangnya kapasitas tenaga kesehatan dalam mendiagnosis dan memberikan TPT, dan kurangnya fasilitas penunjang untuk pemeriksaan ILTB di layanan.
Sebuah studi terbaru (2025) di Kabupaten Pringsewu, bertujuan menganalisis penerimaan program TPT pada keluarga kontak serumah melalui pendekatan Health Belief Model (HBM), menunjukkan bahwa; persepsi tentang kerentanan terhadap TBC, persepsi tentang keparahan TBC, persepsi tentang manfaat TPT, persepsi hambatan pelaksanaan TPT, serta isyarat untuk bertindak adalah sebagai determinan factor yang mempengaruhi penerimaan program TPT, dan factor yang paling dominan dalam mempengaruhi Keputusan penerimaan TPT adalah “Manfaat TPT”.
Keyakinan tentang keparahan penyakit atau perceived severity merupakan komponen sentral dalam Health Belief Model (HBM) yang telah terbukti secara konsisten berperan dalam memengaruhi perilaku kesehatan individu, termasuk dalam konteks TBC dan penerimaan terapi pencegahan TBC (TPT). Menurut perceived severity mencerminkan sejauh mana seseorang percaya bahwa suatu kondisi kesehatan akan berdampak serius terhadap kehidupannya, baik secara fisik, sosial, ekonomi, maupun psikologis. Keyakinan ini mendorong individu untuk mengambil tindakan preventif, seperti mengikuti terapi pencegahan, jika mereka meyakini bahwa penyakit tersebut dapat menyebabkan komplikasi serius atau bahkan kematian.
Dalam konteks TBC, kerentanan merujuk pada keyakinan individu bahwa mereka memiliki risiko tinggi tertular TBC, terutama jika tinggal serumah dengan pasien TBC. Keyakinan individu terhadap kerentanan mereka terhadap TBC, memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan untuk menerima TPT. Keyakinan tentang kerentanan adalah persepsi atau keyakinan seseorang terhadap kemungkinan dirinya terkena suatu penyakit. Dalam konteks TBC, individu yang memiliki kontak erat dengan penderita TBC cenderung memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi, meskipun tanpa gejala aktif. Namun, tidak semua individu memiliki persepsi yang akurat terhadap kerentanan ini. (ndy)




