Oleh: Wardika Aryandi
Sebanyak tujuh Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) periode 2022-2027 resmi dilantik Presiden Joko Widodo, dalam resepsi yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Selasa (12/4) lalu.
Mereka antara lain, Hasyim Asy’ari, Mochammad Afifuddin, Betty Epsilon Idroos, August Mellaz, Idham Holik, Yulianto Sudrajat, dan Parsadaan Harahap. Mereka menjadi orang-orang terpilih dari yang terbaik dengan program dan pemikiran yang visioner.
Mengenai sosok Hasyim Asy’ari, selama ini dia dikenal sebagai seorang akademisi. Hasyim tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial-Politik (FISiP) Universitas Diponegoro (UNDIP). Dia juga pernah menjadi dosen di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia (Lemdiklat Polri) .
Dalam formasi KPU RI saat ini, pria 49 tahun kelahiran Pati, Jawa Tengah ini, dapat dikatakan sebagai seorang petahana. Dia telah menjabat sebagai Komisioner KPU RI sejak 2016. Kala itu Hasyim menggantikan posisi Husni Kamil Manik yang meninggal dunia.
Selepas itu, Hasyim kembali terpilih menjadi Komisioner KPU RI periode 2017-2022. Selama menjadi komisioner, dia banyak menangani persoalan hukum, termasuk dalam setiap sidang sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasyim kembali mencalonkan diri sebagai komisioner KPU pada akhir 2021. Peraturan perundang-undangan memperbolehkannya menjabat di periode ketiga karena periode pertama hanya berdurasi sekitar satu tahun.
Teranyar, Hasyim Asy’ari turut ditetapkan sebagai Ketua KPU RI periode 2022-2027, setelah terpilih secara aklamasi dalam Rapat Pleno KPU RI. Keputusan ini tertuang dalam Berita Acara Rapat Pleno KPU RI Nomor: 55/PK.01-BA/03/2022 dan Surat Keputusan KPU RI Nmor: 102 Tahun 2022.
Berikutnya ialah Mochammad Afifuddin. Pria 42 tahun kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur ini, sebenarnya bukan orang baru di kancah penyelenggaraan pemilu nasional. pada 2017-2022, dia menjabat sebagai Anggota Bawaslu.
Afifuddin sendiri terlibat di kepemiluan sejak 1999. Kala itu, dia yang masih berstatus mahasiswa berjejaring dengan lembaga pemantau pemilu Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Dia pun pernah menjabat Koordinator Nasional JPPR periode 2013-2015.
Saat berkarier di Bawaslu RI, Afifuddin yang pernah menjadi dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah, sempat memimpin Divisi Pengawasan dan Sosialisasi. Salah satu ranah yang dia tangani saat itu berkaitan dengan pemetaan kerawanan dalam setiap penyelenggaraan pemilu.
Selanjutnya ada nama Betty Epsilon Idroos. Betty adalah wanita kelahiran Medan, Sumatera Utara, 43 tahun silam. Dia menjadi satu-satunya perwakilan perempuan dalam susunan Komisioner KPU RI periode 2022-2027.
Betty juga tidak asing dengan penyelenggaraan pemilu. Sebelumnya dia adalah anggota KPU DKI Jakarta Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat. Lalu sejak 2013, dia diamanahkan menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta.
Jauh sebelum berkecimpung sebagai anggota KPU, wanita berjilbab ini sempat bergabung dengan lembaga Demos atau Indonesian Centre for Democracy and Human Rights pada 2002 lalu.
Sosok Komisioner KPU RI keempat ialah August Mellaz. Selama ini, pria 46 tahun kelahiran Surabaya, Jawa Timur, dikenal sebagai penggiat pemilu.
August merupakan Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SDP) sejak 2016 lalu. Selama bergabung di SDP, dia banyak memberi sumbangan pemikiran terkait isu demokrasi dan kepemiluan.
Sebelum itu, August pun sempat menjabat sebagai Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur pada 1999 lalu.
Selanjutnya ada nama Idham Holik. Pria 45 tahun ini lahir di Karawang, Jawa Barat. Semasa mahasiswa, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia juga pernah menjadi dosen tidak tetap di Universitas Paramadina.
Idham Holik sebenarnya bukan sosok baru dalam penyelenggaraan pemilu. Dia sempat menjabat sebagai Ketua KPU Kabupaten Bekasi selama dua periode, yakni dari 2003 hingga 2018. Bahkan sejak 2018, Idham Holik terpilih menjadi Komisioner KPU Jawa Barat Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih.
Nama berikutnya ialah Yulianto Sudrajat. Dia merupakan pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 49 tahun silam. Yulianto pernah menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Sukoharjo selama dua periode, yakni dari 2008 hingga 2013 dan dari 2013 hingga 2018.
Pada 2018, dia terpilih sebagai Ketua KPU Jawa Tengah. Jabatannya sebagai Ketua KPU Jawa Tengah sebenarnya baru berakhir pada 2023 mendatang. Akan tetapi dia memutuskan mengikuti seleksi sebagai Calon Komisioner KPU RI dan berhasil terpilih.
Sebelum terjun dalam bidang penyelenggaraan pemilu, Yulianto berprofesi sebagai wartawan lokal di Jember. Dia pun pernah menjadi Deputy Manager PT Tiga Serangkai, Surakarta, pada 2003 hingga 2007.
Terakhir ialah Parsadaan Harahap. Pria 50 tahun kelahiran Medan, Sumatera Utara ini, sempat menjadi anggota KPU Bengkulu selama dua periode, yakni dari 2003 hingga 2008 dan dari 2008 hingga 2012. Pada 2011, dia juga terpilih sebagai Ketua KPU Bengkulu.
Setelah masa jabatannya habis sebagai Komisioner KPU Bengkulu, Parsadaan justru terpilih sebagai anggota Bawaslu Bengkulu periode 2012-2017. Saat itu dia turut diamanahkan menjabat sebagai Ketua Bawaslu Bengkulu.
Sebelum berkecimpung di dunia kepemiluan, Parsadaan dikenal sebagai seorang aktivis. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 1999-2001, dan juga Wakil Sekretaris Jenderal DPP KNPI periode 2005-2008.
Susunan Komisioner KPU RI periode 2022-2027 tentu saja menjadi semangat baru dalam upaya menciptakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan bermartabat. Apalagi para komisioner KPU RI yang ada saat ini dianggap memiliki integritas tinggi. Selain memiliki jam terbang yang luas sebagai penyelenggara pemilu, sebagian besarnya pun telah lama berkecimpung sebagai akademisi, maupun penggiat kepemiluan dan demokrasi.
Sejauh ini, tugas terdekat mereka ialah mempersiapkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 dengan matang dan sistematis, mulai dari mengakomodir berbagai program dan tata kerja penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga daerah, menyusun aturan dan mekanisme pemilu, serta mengkoordinasikan berbagai kebutuhan sarana dan prasarana pemilu.
Akan tetapi rakyat Indonesia tetap saja butuh pembuktian. Sebab publik masih menantikan sejauhmana kiprah para komisioner agar dapat menjamin kinerja KPU menjadi lebih baik dan terbebas dari intervensi pihak manapun.
Beberapa tugas penting tentunya harus menjadi prioritas KPU RI. Di antaranya menyangkut penyempurnaan validitas daftar pemilih tetap (DPT), penyediaan sarana dan prasarana pemilu yang lebih efektif dan efisien, peningkatan kualitas dan kapasitas petugas penyelenggara pemilu, peningkatan angka partisipasi pemilih, penguatan sistem keamanan siber pemilu demi mencegah peretasan data KPU, hingga melaksanakan pemilu sehat dan aman dari Covid-19.
Seluruh tugas itu harus mampu dilaksanakan secara maksimal, mengingat sejak dibentuk pada era reformasi di 1999 silam, KPU memang menjadi lembaga yang telah diamanahkan untuk menyelenggarakan proses demokrasi di Indonesia. Apalagi nilai anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 tergolong besar, yakni mencapai Rp 110 triliun.
Dengan besarnya harapan dari berbagai pihak, ditambah dukungan finansial yang besar, maka seluruh jajaran Komisioner KPU RI harus bertekad menunjukan kinerja terbaiknya, termasuk tetap konsekuen menjaga integritas, profesionalitas, dan independensi sebagai penyelenggara pemilu.
Penekanan ini harus direspon dengan sikap dan kebijakan yang tepat dan terukur oleh KPU. Sebab banyak pihak meyakini Pemilu 2024 menjadi pesta demokrasi paling melelahkan dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, karena menggabungkan Pileg, Pilkada, dan Pilpres. Sehingga peluang terjadinya kecurangan dan pelanggaran pemilu akan jauh lebih terbuka.
Di sisi lain, banyak juga pihak masih meragukan integritas dan independensi KPU sehubungan beberapa persoalan hukum yang sempat menjerat sejumlah oknum komisioner di periode sebelumnya. Sebut saja misalnya kasus pencopotan Evi Novida Ginting sebagai Komisioner KPU RI menyusul hasil putusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di 2020. Saat itu Evi dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu, walaupun akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menganulir keputusan itu.
Hal ini pula yang kemudian menyebabkan Arif Budiman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI di penghujung masa pengabdian sebagai komisioner, untuk kemudian posisinya digantikan oleh Ilham Syahputra.
Kasus lainnya yang juga ikut menyita perhatian publik ialah saat Wahyu Setiawan, salah satu dari tujuh Komisioner KPU RI periode 2017-2022, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 8 Januari 2020 silam, karena terlibat transaksi suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024.
Meskipun pada dasarnya kasus hukum yang menjerat oknum penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, bukanlah suatu persoalan yang baru di Indonesia, namun hal seperti ini sangat disadari dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap KPU.
Terlebih lagi jika dukungan moril publik yang begitu kuat dan besarnya alokasi anggaran dari pemerintah kepada KPU, justru tidak mampu membuat kinerja lembaga penyelenggara pemilu ini menjadi semakin baik, dapat dipastikan sikap apatisme publik terhadap KPU dan pemilu akan semakin kuat.
Akan tetapi optimisme publik terhadap peningkatan kualitas kinerja KPU RI pasca pelantikan jajaran komisioner baru sebenarnya sangat besar. Satu hal yang pasti, rakyat Indonesia sangat berharap KPU mampu menyuguhkan perhelatan pesta demokrasi yang berkualitas.
Dalam arti, pemilu dapat terlaksana dengan aman, lancar, dan sesuai jadwal, penerapan regulasi yang proporsional tidak diskriminatif, terjaganya independensi dan netralitas penyelenggara pemilu, tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, minim pelanggaran, serta jauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Sejarah, FIB USU




