Oleh Jupri Karim
Aktivis Sosial Kemasyaratan dan Lingkungan Hidup
Sumaterapost.co.Lampung – Menurut saya terkait peristiwa di Raja Ampat Papua perlu telaah kritis, kajian, dan analisa mendalam. Siapa tahu dampak positif dan negatifnya (maslahat dan mudharatnya) bagi masyarakat dan lingkungan di sana memang sudah dipertimbangkan secara matang, jika tidak maka tindakan tersebut bisa dipermasalahkan dengan menempuh jalur hukum, tentu yang paling berhak adalah masyarakat sana (Raja Ampat).
APH harus merespon jika ada aduan dari masyarkat sana. Permasalahannya aktivis pegiat lingkungan sana ada tidak? Kalaupun ada kritis tidak? Karena yang kita tahu di sana sebagian besar masyarakatnya berburu di hutan-hutan maka pemilu dan pilkadanyapun memakai sistem noken dengan dicoblos oleh toga dan todanya.
Terkait eksistensi pemda di sana kita semua tahu saat ini jangankan di papua di daerahlainpun sdh terkenal kompromi, makanya sudah ribuan T uang ke sana untuk pembangunan tapi masih minim pembangunan. Terbukti Gubernurnya pun meninggal di Penjara karena korupsi.
Apakah pandangan para ahli diperlukam, itu apik dan elok menurut saya, tapi masalahnya kita ini _nation state_ ( negara bangsa bukan negara agama) jadi rujukannya hukum postif, maka pandangan dan masukan semacam itu dipakai sebatas menambah deskripsi pada naskah akademik untuk membuat regulasi, itupun jika dianggap menguntungkan bagi kelompok *persengkongkolan* , jika tidak maka tidak dimasukan dalam rancangan suatu regulasi.
Sebenarnya Regulasinya baik UU maupun peraturan di bawahnya sudah lengkap ada UU mengenali lingkungan hidup, ada perda dan lain-lain bahkan sudah ada AMDAL. Persoalanya minim pengamalan dalam regulasi tersebut banyak selesai di atas kertas atau upload di web saja.
Kita ini sudah dalam sorotan dunia internasional sebagai penyumbang _global warmning_ atau banjir karena kesadaran kita untuk memikirkan lingkungan yang berdampak pada penghidupan pihak lain sangat lemah.
Sangat miris memang karena negara kita penganut Islam terbesar di dunia setiap tahun jamaah haji meningkat tapi mengapa tidak ekivalen dengan perubahan positif bagi bangsa kita? Bukankah kita sudah mengklaim bahwa agama kita sebagai agama yang _rahmatan lil alamin_? Lalu di mana salahnya? Sementara ini sebagai hipotesis saya lemah pada pengamalannya. Kita sudah memasuki era yang sudah salah arah di mana uang sudah menjadi tujuan hidup bukan lagi sebatas wasilah ( KH. Mustofa Bisri/ Gus Mus).
Jadi kita perlu kesadaran kolektif dan tetap membuka relung-relung pemikiran kiritis demi pencapaian Indonesia emas 2045 mendang.
Wallahu a’lam bissawaf.




