Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang
Udara pagi di Bandungan terasa lembut dan jernih, menyentuh kulit seperti belaian doa yang belum diucapkan. Di kaki Gunung Ungaran, di sebuah sudut tenang bernama Green Valley Resort, puluhan peserta duduk bersila dalam diam. Tidak ada suara selain desir angin dan denting lembut lonceng meditasi. Di hadapan mereka, berdiri seorang bhikkhu bersahaja dengan jubah safron yang tampak bersinar disapu cahaya matahari pagi—Bhante Ashin Kusaladhamma Mahathera.
Hari itu, 5 Oktober 2025, Grand Valley Dharma Center menyelenggarakan Dhamma Workshop: Meditasi Buddhis & Pengenalan Vipassanā Metode Mahāsī. Sebuah perjumpaan spiritual yang bukan sekadar pelatihan meditasi, tetapi perjalanan sunyi untuk menatap batin sendiri dengan kejernihan.
Dhamma dalam Napas dan Keheningan
Sejak pukul delapan tigapuluh pagi, aula sederhana di tengah hijaunya pegunungan dipenuhi aroma dupa dan kesunyian yang dalam. Para peserta duduk dalam hening, mengikuti panduan Bhante Kusaladhamma. Setiap gerakan — mengangkat tangan, menarik napas, menunduk — menjadi ladang kesadaran.
“Perhatikan… bukan hanya apa yang tampak, tapi apa yang terasa,” suara Bhante lembut namun tegas, menggema di ruang batin peserta. “Meditasi bukan untuk melarikan diri dari dunia, melainkan untuk melihat dunia dengan mata yang baru.”
Dalam diam, setiap orang mulai menyadari: keheningan ternyata tidak sepi, melainkan penuh kehidupan yang halus — detak jantung, aliran napas, bahkan rasa yang muncul dan lenyap tanpa diminta.
Guru yang Menyalakan Cahaya dari Timur
Bhante Ashin Kusaladhamma Mahathera bukan nama asing bagi para pencari ketenangan batin. Lahir dan menempuh jalan monastik sejak 1998, beliau ditahbiskan oleh Chanmyay Sayadaw Ashin Janakābhivarisa di Myanmar. Selama 12 tahun ia tinggal di negeri asal para guru meditasi itu, memperdalam Dhamma dan praktik Vipassanā di berbagai pusat latihan seperti Mahagandhayon, Pa Auk, dan Panditārāma.
Ketekunan dan kebijaksanaannya mengantarkannya menjadi lulusan terbaik di International Theravāda Buddhist Missionary University (ITBMU) dengan medali emas, sebelum kemudian melanjutkan pendidikan magister di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta.
Namun, lebih dari semua pencapaian akademik itu, yang terpancar darinya adalah kedamaian yang tidak dibuat-buat.
Bagi banyak orang, Bhante bukan hanya pengajar Dhamma—beliau adalah cermin. Cara beliau berjalan perlahan, berbicara lembut, dan tersenyum dengan mata yang jernih, membuat siapa pun yang hadir seakan ikut diam bersama dunia.
Vipassanā: Melihat Dunia Apa Adanya
Vipassanā berarti “melihat dengan jelas.” Dalam tradisi Buddhis Theravāda, ia adalah latihan untuk menyingkap tabir ilusi—melihat segala sesuatu sebagaimana adanya: anicca (tidak kekal), dukkha (tidak memuaskan), dan anattā (tanpa inti diri). Berbeda dengan meditasi samatha yang menenangkan, Vipassanā mengajak batin menatap setiap sensasi, pikiran, dan perasaan tanpa penilaian. Dalam metode Mahāsī, setiap gerakan tubuh dicatat dalam kesadaran: mengangkat—menurunkan—melangkah, sambil mengamati bahwa semua muncul dan lenyap, seperti awan di langit batin.
Di sinilah letak keajaibannya. Dalam kesunyian yang sederhana itu, seseorang bisa menemukan sesuatu yang lebih luas dari diri—sebuah ruang batin tempat penderitaan mulai mereda, dan cahaya kebijaksanaan perlahan menyala.
Ruang Belajar, Ruang Pulang
Sesi terakhir workshop ditutup dengan tanya jawab spiritual. Seorang peserta bertanya, “Bhante, bagaimana jika pikiran terus berkelana?” Bhante tersenyum lembut, menatapnya dengan tatapan penuh welas asih.
“Jangan marahi pikiranmu,” ujarnya. “Cukup sadari bahwa ia berjalan. Seperti anak kecil yang belajar pulang, biarkan ia kembali ke rumah kesadaran, perlahan.”
Suasana hening kembali. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Setiap orang tenggelam dalam rasa terima kasih yang sunyi.
Menjelang sore, matahari menyentuh lembah Bandungan dengan cahaya keemasan. Burung-burung pulang ke pepohonan. Satu per satu peserta meninggalkan aula dengan langkah ringan, membawa sesuatu yang tak bisa dituliskan: kedamaian yang lahir dari dalam.
Dalam diam, seseorang berbisik lirih, “Untuk jiwa yang mencari kedamaian, Dhamma adalah pelita di jalan sunyi.” Dan di Bandungan sore itu, pelita itu benar-benar menyala. (*)