Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis, penyuka musik tinggal di Tembalang Semarang.
Di sebuah sudut sunyi Indonesia, di antara dinding-dinding sederhana dan semilir angin sore yang menyusup lewat celah bambu, seorang lelaki merajut napas dari kayu, suara dari diam. Robi, atau akrab disapa Obi, bukanlah perajin biasa. Ia adalah penyair dalam rupa pembuat seruling—yang tak hanya mengukir alat musik, tapi menyalakan kembali roh budaya yang nyaris padam. Obi bisa membuat berbagai jenis suling Atawa flute dari berbagai belahan dunia. Selama ada skalanya pasti bisa dibuatnya. Suling Obi atau dia lebih senang menyebutnya flute karena merupakan bahasa universal suling di dunia musik dari berbagai jenis bahan tak hanya bambu, tetapi ranting , batang pohon, tanduk dan juga logam. Obi menabalkan nama produknya ” Juang Flute”, ngambil dari nama depan anak lelaki sulungnya. Harga flute buatan Obi di pasar Internasional kini setidaknya rate-nya sekira 100 – 1000 US Dollar perpiece
Dari tangannya, ratusan suling lahir. Tidak satu, tidak dua, tapi lebih dari 20 jenis dari berbagai tradisi dunia: Suling Sunda, Bansi Minang, Saluang, Serdam Lampung, Tulila Batak, Foi Doa dari NTT, ocarina, saxophone kayu hingga Native American Flute dan Fujara Slovakia. Bahkan suling-suling eksperimental seperti drone flute, triple flute, hingga flute overtune.

“Ada yang dari Mesir, Saudi Arabia, bahkan Yunani yang pesan. Tapi saya masih di sini, bikin satu-satu di rumah,” ujar Elok istrinya pelan.
Tak ada yang instan dalam kisah Obi. Ia tahu betul arti kekurangan. Pernah hidup dalam kesulitan, ia kini memilih berbagi. Ia mengajari anak-anak pengangguran, pengamen, bahkan tetangga sekitar untuk membuat seruling. Jika ada yang laku, hasilnya dibagi rata.
“Karena saya tahu rasanya susah. Dan saya nggak mau orang lain merasa sendiri dalam susahnya,” ucapnya dengan mata yang tetap teduh.
Dalam setiap sulingnya, Obi menanamkan lebih dari sekadar bunyi. Ada kasih sayang, ada sejarah, ada semangat gotong-royong. Ia menyebutnya napas dari hati —karena hanya dengan hati, suling-suling itu bisa bicara.
Kisah Obi adalah kisah kebudayaan yang berjalan pelan tapi pasti. Ia tak mengajar di universitas, tak masuk dalam panggung nasional. Namun dari rumah kecilnya, ia menyumbangkan sesuatu yang tak bisa dibeli: kejujuran dalam berkarya dan keberanian untuk menyentuh jiwa manusia lewat napas bambu.
Kini, impiannya sederhana: bisa menyusul suling-sulingnya ke negara yang pernah mengundangnya. “Biar nggak cuma suling saya yang keliling dunia. Saya juga mau, Mas,” katanya sambil tersenyum kecil.
Karena pada akhirnya, suara suling Obi bukan hanya miliknya. Ia adalah gema dari Indonesia yang bersahaja—lembut, tenang, tapi tak pernah padam.
Cahaya boleh redup, anggaran boleh tiarap. Tapi selama ada yang meniupkan cinta ke dalam sepotong bambu, kebudayaan takkan pernah benar-benar mati. (*)




