Oleh Christian Heru Cahyo Suputro, jurnalis, penyuka tradiisi anggota Badan Warisan Sumatera, tinggal di Semarang.
Pagi itu, Semarang membuka dirinya dengan cahaya lembut yang jatuh dari sela-sela awan. Angin memunguti bau rumput basah dan wangi kue pasar dari sudut-sudut kota yang baru menggeliat. Di halaman Pendapa Anthurium, Klub Merby—yang teduh oleh pepohonan tua di Jalan Mataram—keramaian telah tumbuh sejak matahari belum naik sepenuhnya.
Puluhan perempuan, dari anak-anak bersanggul sederhana hingga para sesepuh berwajah teduh, datang berduyun-duyun dengan kebaya beraneka rupa: encim berbunga kecil, kartini berpotongan rapi, hingga kebaya modern beraksen renda gemerlap. Mereka datang bukan sekadar mengenakan busana; mereka datang untuk menghidupi kembali sebuah ingatan.
Hari itu, Sabtu, 22 November 2025, Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) merayakan hari jadinya yang ke-11—sebuah perjalanan panjang sejak gerakan kecil itu lahir pada 2014.
Kebaya yang Mulai Sunyi
Di bawah pendapa, Ketua Umum PBI, Rahmi Hidayati, berdiri dengan kebaya hijau lembut yang tampak serasi dengan suasana pagi. Suaranya tenang namun menyimpan getir.
“Saya tadi keliling pasar,” katanya membuka cerita, “tidak ada yang memakai kebaya. Hanya satu ibu berusia 78 tahun.”
Hadirin terdiam. Ada keheningan yang merayap pelan di antara gemerincing gelang dan wangi bunga kenanga.
Rahmi mengenang masa-masa awal gerakan ini: hanya segelintir jurnalis perempuan di Jakarta yang ingin tampak berbeda saat difoto; hanya obrolan kecil selepas meliput; hanya keinginan untuk merawat sesuatu yang dirasa mulai renggang dari kehidupan sehari-hari.
Namun dari ruang kecil itu, percikan tumbuh menjadi nyala. PBI berkembang menjadi gerakan budaya; menyelenggarakan seminar, diskusi, kirab, hingga merayap ke ruang-ruang publik. Kini, PBI telah berdiri di 19 wilayah di Indonesia, bahkan membuka cabang di Eropa.
“Kita mencintai negeri ini,” ujar Rahmi, “salah satu cara sederhana merayakan cinta itu adalah dengan memakai kebaya.”
Ketika Kebaya Bergerak ke Sekolah, Kampus, Kantor, dan Dunia
Di sela perayaan, deretan kegiatan menghangatkan suasana: peragaan busana kebaya, alunan ukelele dari PBI Yogyakarta, permainan dolanan bocah, hingga barisan ibu-ibu yang menari line dance dengan ceria. Ada semacam keriangan yang menular, seolah pagi Semarang ikut berjoget pelan.
Melanjutkan misinya, PBI menggerakkan program “kebaya goes to school, goes to campus, goes to office, goes to world.”
Gerakan ini hendak memastikan bahwa kebaya tak berhenti menjadi simbol nostalgia, melainkan hidup dan dikenakan generasi kini.
Rahmi bahkan mencontohkan langkah ekstrem: ia mendaki gunung, bersepeda jarak jauh, hingga terbang paralayang sambil mengenakan kebaya.
“Kalau kita terlalu banyak aturan, anak muda akan menjauh,” katanya. “Biarkan mereka memadukan kebaya dengan jeans dulu. Yang penting mulai.”
Estafet Budaya di Tangan Generasi Baru
Ketua PBI Kota Semarang, Titah Listiyorini, menyambut perayaan ini sebagai momentum penting. Apalagi setelah kebaya mendapat pengakuan UNESCO pada 2024 sebagai warisan budaya dunia.
“Perjalanan sebelas tahun ini tidak mudah,” ujarnya. “Tetapi PBI semakin kuat. Estafet ini jangan berhenti di kita.”
Jawa Tengah, tempat PBI tumbuh subur, kini menjadi poros yang menghidupkan lagi ragam kebaya Nusantara. Di Semarang, Pekalongan, Banyumas, Salatiga, Grobogan—komunitas-komunitas kecil tumbuh seperti rumpun bunga yang saling menguatkan. Dari mereka, publik belajar bahwa kebaya tidak satu bentuk.
Ia adalah bahasa yang diucapkan dengan aksen berbeda oleh berbagai daerah.
Ruang Publik yang Hidup Kembali
drg. Grace Widjaja Susanto, pemerhati budaya sekaligus pemilik Klub Merby, melihat geliat kebaya sebagai bagian dari kebangkitan seni lokal.
“Semarang sekarang sudah menggeliat,” katanya. “Sepuluh tahun lalu wayang ditonton hanya segelintir orang. Sekarang, penontonnya bisa menyaingi pertandingan bola.”
Kebaya, menurut Grace, lebih mudah diterima masyarakat karena tak memerlukan latihan seperti seni pertunjukan. Ia bisa dikenakan, dinikmati, dan dirayakan dalam kehidupan sehari-hari.
Mulai dari kebaya keraton, encim, Balinese style, Madura, hingga kebaya Koja yang memadukan India–Semarang, kekayaan ragam busana itu menunjukkan betapa luas cakrawala perempuan Nusantara.
“Anak-anak kami di sini sudah terbiasa memakai kebaya,” katanya sambil tersenyum, “itu pertanda baik bagi masa depan tradisi kita.”
Merayakan yang Luruh, Menjaga yang Tersisa
Menjelang siang, halaman pendapa semakin penuh warna. Anak-anak berlarian dengan selendang, para ibu berbincang sambil mengagumi motif-motif lama, dan para sesepuh duduk tenang, memandang generasi baru yang kini mulai akrab dengan kebaya.
Perayaan HUT ke-11 ini bukan sekadar ulang tahun komunitas. Ia adalah pengingat:bahwa tradisi tidak hidup karena disimpan,tetapi karena dipakai dan dirayakan.
Kebaya tidak sekadar kain yang dijahit menjadi busana. Ia adalah cerita panjang tentang perempuan Nusantara—tentang kelembutan, keteguhan, kesopanan, dan keberanian yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dan hari itu, di sebuah pendapa Anthurium Klub Merby di Semarang, cerita itu kembali menemukan nadinya.“Pelestarian kebaya adalah misi kita bersama,” ucap Rahmi menutup acara.
Dan gema kalimat itu seakan tertinggal di udara—seperti doa, seperti janji, seperti seruan yang tak boleh padam. (*)




