Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka film tinggal di Semarang
Pada Sabtu siang yang hangat (29/11), Gedung Pertunjukan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) seolah bernapas lebih cepat dari biasanya. Dari kejauhan, langkah-langkah ringan para pelajar Kota Semarang terdengar bagai riak gelombang kecil yang bergerak menuju satu titik: sebuah ruang seni tempat cerita-cerita dari negeri jauh menunggu untuk dijelajahi.
Ratusan pelajar datang berbondong-bondong, sebagian masih mengenakan seragam sekolah, sebagian lainnya mengenakan pakaian bebas yang tetap menyimpan aroma pulang belajar. Mereka memasuki gedung dengan mata berbinar—sebuah pemandangan yang jarang terlihat di akhir pekan, terlebih untuk sebuah gelaran sinema asing.
Di lobby, poster Le Petit Vampire berdiri mencolok. Para pelajar berebut mengambil swafoto, tertawa, saling menggandeng, seolah poster itu sebuah portal menuju dunia baru. Aroma popcorn menguar, bercampur dengan lantunan musik pembuka yang mengalun lembut, membentuk atmosfer hangat yang menggoda siapa pun untuk larut di dalamnya.
Sinema sebagai Ruang Perjumpaan
Ketika lampu gedung mulai meredup, Direktur Alliance Française Semarang, Dra. Kiki Martaty, berdiri di panggung dengan senyum tenang. Ia menyambut para pelajar bukan sekadar sebagai penonton film, tetapi sebagai tamu budaya.
“Festival ini adalah ruang perjumpaan,” ujarnya lembut, namun tegas. “Film bukan hanya hiburan; ia adalah jembatan—yang menghubungkan pandangan, pengalaman, dan nilai-nilai.”
Kata-katanya mengalir seperti narasi pendek yang mengajak para pelajar melihat lebih jauh dari layar. Kiki memuji Semarang sebagai kota yang hidup oleh kreativitas dan keterbukaan, kota yang selalu mampu menyambut wajah-wajah muda dengan peluang belajar dan bertumbuh.
Pesan Lembut Wawali untuk Generasi Pelajar
Kehangatan acara semakin memuncak dengan kehadiran Wakil Wali Kota Semarang, H. Iswar Aminuddin. Tanpa formalitas berlebihan, ia memilih berbicara dari hati ke hati—menyentuh sisi paling personal para pelajar.
“Jangan lupa pada orang tuamu,” katanya, suaranya menenangkan seperti petuah di ruang keluarga. “Pamitlah sebelum berangkat. Cium tangan mereka. Itu yang akan menuntunmu menjadi manusia yang kuat.”
Para pelajar terdiam sejenak, mendengarkan, menyimpan pesan yang terasa akrab. Iswar juga menekankan bahwa masa muda adalah waktu terbaik untuk membangun karakter: kebiasaan baik, kecerdasan, dan sopan santun yang menjadi fondasi Indonesia di masa depan.
Le Petit Vampire: Kisah Persahabatan, Keberanian, dan Menemukan Diri
Ketika film Le Petit Vampire akhirnya diputar, tepuk tangan memenuhi ruangan. Cahaya proyektor menari di udara, dan dunia fantasi karya Joann Sfar seketika membungkus seluruh isi gedung.
Tawa kecil terdengar, disusul decak kagum setiap kali karakter-karakter animasi itu melompat keluar dari layar. Film keluarga ini bukan sekadar tontonan—ia menjadi ruang belajar tentang keberanian menjadi diri sendiri, tentang persahabatan yang tulus, dan tentang menerima perbedaan sebagai kekayaan.
Bagi sebagian pelajar, inilah kali pertama mereka menonton film Prancis di layar besar. Dan pengalaman itu, bagi mereka, terasa seperti membuka jendela ke negeri baru yang penuh cahaya.
Semarang dan Masa Depan Sinema
Antusiasme ratusan pelajar ini menjadi penanda penting: Semarang sedang tumbuh sebagai kota film. Tidak hanya memiliki ruang seni, tetapi juga penonton muda yang haus akan pengalaman budaya.
Penyelenggara berharap kegiatan seperti ini menjadi awal dari perjalanan panjang—lebih banyak film, lebih banyak dialog, lebih banyak perjumpaan lintas budaya.
Festival Sinema Prancis 2025 di Semarang masih akan berlangsung hingga 2 Desember, menghadirkan ragam film dan diskusi yang membuka cakrawala baru.
Di TBRS sore itu, yang tersisa bukan hanya jejak langkah para pelajar, tetapi gema cerita yang akan lama tinggal dalam ingatan mereka—kisah tentang sinema yang merangkul, menghubungkan, dan membukakan dunia. (*)




