Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro
Semarang – Semarang Sketcwalk ( SSW) menggelar acara nyeket bareng on the spot (OTS) ke Kota Pusaka Lasem, Rembang, Jawa tengah. Rombongan “Lasem Heritage Sketch Jouney” yang terdiri dari puluhan anggota SSW dikomandani Ketuanya Ratna Sawitri berangkat dari Semarang, Sabtu, 2 Oktober 2021, menggunakan mini bus dan sebagian menggunakan mobil pribadi menuju Kota Pusaka Lasem.
Menurut Ketua SSW Ratna Sawitri nyeket OTS kali ini memilih kota Lasem karena merupakan salah satu kota pusaka yang kaya dengan warisan budaya teraga dan tak teraga. “Jelajah budaya ini tentunya untuk mengabadikan landskap dan keindahan warisan budaya Lasem dengan sketsa. Tentunya sesuai dengan jargon SSW “One sketch on a moment,” jelas Ratna.

Ratna menambahkan Semarang Sketcwalk menjelajah kemudian mengabadikannya dalam karya sketsa. SSW ingin merekam dan membangun memori kolektif orang tentang Lasema dengan sketsa dan lukisan yang tentunya beda dengan karya fotografi.
Rumah Besaran
Setelah perjalanan sampai di Rembang, salah satu tempat yang dikunjungi adalah Rumah Kapitan Liem yang berlokasi di sudut Jalan Airlangga dan Jalan KS Tubun.
Rombongan hanya berkesempatan melihat-lihat rumah berusia dua abad lebih iini tadinya digunakan sebagai Wihara Karuna Cattra, tempat ibadah umat Buddha. Tetapi kemudian vihara ini pindah setelah bisa membangun tempat ibadah di tempat lain.

Rumah Kapitan Liem yang dikenal juga dengan sebutan Rumah Besaran ini milik Udaya Halim pemilik Museum Benteng Heritage Tangerang. Rumah besaran ini kini sedang dalam tahap restorasi.
Menurut Lekman pihak yang melakukan merestorasi rumah ini sudah berjalan dua tahunan. “Merestorasi bangunan bernilai sejarah harus hati-hati dan teliti Apalagi pak Udaya Halim sang pemilik ingin semuanya tetap otentk. Rumah ini rencananya akan dijadikan museum oleh pemiliknya,” ujar Lekman.
Rumah Batik Nyah Kiok
Setelah dari Rumah Besaran rombongan menyambangi rumah batik legendaris Nyah Kiok. Rumah Batik Nyah Kiok ini terletak di Jalan Karangturi Gang VI, Desa Karangturi, Lasem. Rumah batik ini diperkirakan beroperasi sejak awal abad 20.
Rumah batik Nyah Kiok merupakan rumah batik milik Hadi Sutjahyo dan Listyorini (Nyah Kiok), setelah sempat dilanjutkan oleh Hartono (keponakan pemilik), kini perusahaan tersebut dipegang oleh salah satu anak dari Nyah Kiok. Rumah batik ini tidak membuka gerai penjualan batik, melainkan mengirimkan kain batiknya ke luar kota.
Kain batiknya terdiri dari motif sisik atau gunung ringgit, daun pring/bambu, dan tambahan bunga dan kupu-kupu, untuk isiannya ditambahkan motif-motif khas Lasem seperti latohan (rumput laut), ungker, dan nyok (titik-titik).
Motif gunung ringgit atau sering disebut motif ‘sisik’ di Lasem, dalam khasanah motif dan ragam hias Tionghoa termasuk dalam ragam hias yang disebut ‘lang’ gelombang air yang berbentuk stilistik setengah lingkaran atau tiga perempat lingkaran bersanding secara pararel.
Uniknya, sedari awal berdirinya hanya membuat satu buah motif batik tiga negeri dan masih memroduksi motif yang sama hingga sekarang. Maka dari itu terkenal dengan sebutan rumah batik tiga negeri Nyah Kiok.
Menempati rumah kuno gaya Cina Hindia sederhana, para pembatiknya kini hanya tersisa tujuh orang. Tujuh orang bidadari andalan Nyah Kiok yaitu, Mbah Suti, Mbah Lasinah, Mbak Kuntati, Mbah Suharmi, Mbah Sabariyah, Mbah Marni. Mbak Sumirah.
Mbah Suti adalah pembatik paling senior di antara mereka bertujuh. Kini Suti berusia 72 tahun dan telah membatik di Nyah Kiok sejak tahun 1969. Ia sangat hafal motif gunung ringgit pring yang sedari dulu diproduksi oleh Nyah Kiok.
Dengan lincahnya mbah Suti menorehkan cantingnya menggambar motif gunung ringgit dan bunga bambu setiap membatik di atas kain putih polo hingga empat kaliproses` pewarnaan. Demikian juga rekan-rekannya begitu piawai menorehkan cantingnya
Menurut Bodhi Pop salah satu penggiat budaya Lasem Batik Tiga Negeri Gunung Ringgit Pring merupakan salah satu batik motif kuna yang mash dipertahankan oleh Rumah Batik Nyah Kiok. “Rumah batik ini hanya membuat satu motif sejak awal mula memproduksi kain tapeh (panjang) dan sarung. Saat ini Rumah Batik Nyah Kiok menjadi satu-satunya rumah batik yang konsisten memproduksi batik motif Gunung Ringgit Pring,” ujar Pop.
Di rumah batik Nyah Kiok rombongan dijamu makan siang lontong tuyuhan dan sate sarepeh makanan khas Lasem. Sembari menikmati makan siang yang lezat rombongan bisa melihat langsung para perajin batik memainkan canting di atas lembaran kain menjadi karya batik. Sebuah momen yang indah, pasalnya, hari itu bertepatan tanggal 2 Oktober yang merupakan peringatan hari batik nasional.
Omah Idjo dan Roemah Oei
Dari rumah batik Nyak Kiok rombongan menuju Omah Idjo dan Roemah Oei untuk chek in. Sesampainya di Omah Idjo rombongan SSW disambut dengan hangat oleh Grace W Susanto dan Hardhono owner penginapan Roemah Oei dan Oemah Idjo. Pada kesempatan itu, Grace W Susanto mengisahkan, sejaraha Omah Idjo yang dulunya milik orang persia. “Rumah ini sedari saya kecil dulu memang sudah disebut Omah Idjo. Di Lantai paling atas ada tempat azan. Tapi sekarang di sana ada kisah asal muasal huruf Jawa,” terangnya.
Dokter gigi yang juga dikenal bergiat di bidang kebudayaan.ini menambahkan, kalau penginapan Omah Idjo berkonsep atau bertema Jawa. Maka pajangan dan aksesorisnya bernuansa budaya Jawa. Sedangkan untuk penginapan Roemah Oei bernuansa peranakan. Dengan pajangan dan asesoris khas peranakan, bahkan di rumah utama ada altar keluarga.
On The Spot
Setelah istirahat sejenak Pukul 14.00 – 15.30 WIB mulai beraksi nyeket on the spot (OTS) Oemah Idjo. Masing-masing anggota SSW mencari angle yang pas dan posisi uenak untuk mengabadikan Oemah Idjo.
Setelah usai waktunya, rombongan bergeser ke Roemah Oei untuk menikmati teh hangat, kopi lelet dan kudapan khas Lasem dumbek dan jongkong. Usai coffe break melanjutkan agenda nyeket Roemah Oei. Hasil karya nyeket OTS dikumpulkan dan dipajang untuk dipamerkan d beranda belakang i Roemah Oei.
Setelah istirahat berlanjut dengan ramah tamah dan jamuan makan malam. Tuan rumah menyajikan menu nasi tahu dibungkus daun jati yang merupakan salah satu menu khas Lasem dan juga ada pilihan lain menu nasi goreng Sembari menikmat makan malam bisa melihat sketsa hasil dari OTS Omah Idjo dan Roemah Oei.
Setelah makan malam agenda berikutnya dengan diskusi sseni tentang Kota Lasem.dengan pemantik diskusi Grace W Susanto, J Hardhono dan Widya Widjajanti. Diskusi lesehan berlangsung dengan gayeng
Agenda Jelajah Hari Kedua
Sebelum melakukan OTS hari kedua, pagi sarapan Soto Kemiri di Roemah Oei. Kemudian rombongan berangkat ke Klenteng Cun An Kiong untuk nyeket OTS. Kelenteng Cu An Kiong yang punya arti “Istana Ketentraman Welas Asih” ini berlokasi di jalan Dasun 19, Lasem. Cun An Kiong merupakan kelenteng tertua di Kota Lasem dan bahkan konon merupakan kelenteng tertua di Pulau Jawa. Ruang utama kelenteng yang berisi altar Tian Shang Sheng Mu berada di belakang dan tidak terbuka untuk umum.
Dari Klenteng Cun An Kiong kemudian menuju ke Pondok Pesantren Kauman, Karang Turi. Tetapi rombongan hanya melihat-lihat tidak melakukan kegiatan nyeket. Perjalanan dilanjutkan ke Rumah Merah di Karang Turi IV/7 Lasem.
Di Rumah Merah sembari istirahat beberapa anggota SSW nyeket on the spot.Kemudian kembali ke penginapan masing-masing untuk packing. Usai beberes kembali kumpul di rumah Oei untuk menikmati makan siang. Kali ini tuan rumah menjamu dengan menyajikan menu nasi lodeh bungkus daun jati.
Sekira pukul 14.00 WIB, rombongan bersiap kembali ke Semarang. Setelah berpamitan dengan tuan rumah, dilakukan sesi foto bersama sekaligus merupakan perpisahan.Tak ada pesta tanpa akhir,
Setelah menjelajah Kota Pusaka Lasem rombongan SSW bersiap meluncur kembali ke Kota Semarang. Rombongan sempat mampir di spot wisata pohon Trembesi legendaris. Di Desa Karasjajar, pohon trembesi berada di sebelah tempat kerja pembatik Pusaka Beruang, salah satu merek batik tulis di Lasem.
Pelancong menyebut spot ini dengan nama Pohon Trembesi Raksasa. Selain rumah tempat pengrajin batik, di area Pohon Trembesi Raksasa terdapat makam yang konon i diperkirakan makam orang yang membuka desa. Konon muasal orang Lasem awal diperkirakan orang dari Gunung Kendeng yang turun kemudian membuat pemukiman dan beranakpinak menjadi cikal bakal penduduk Lasem.
Sayonara Lasem,kota pusaka, sudah kuabadikan kenangan tentangmu dalam sketsa dan gambar! (*)




