Jakarta — Hiruk pikuk ibu kota, dengan segala keruwetan, mimpi, dan absurditasnya, menjadi napas utama dalam pameran seni rupa bertajuk “Otak-atik Jakarta” yang digelar di Amuya Gallery, Jakarta Pusat, mulai 1 hingga 12 Oktober 2025
Pameran ini menghadirkan sembilan seniman dengan latar dan pendekatan berbeda—baik dari Kelompok Oret-oret Jakarta maupun undangan khusus. Mereka menghidangkan tafsir visual atas Jakarta sebagai ruang hidup yang paradoks: metropolis yang bising, namun juga menyimpan keheningan batin, tempat pertemuan antara hasrat dan kegelisahan, Jumat (26/09/2025).
Narasi Jakarta dari Para Perupa
Kelompok Oret-oret Jakarta yang beranggotakan Arief Eko Saputra, Deskamtoro Dwi Utomo, Dian Ardianto, Sri Hardana, Taufiq Rachman, dan Zamrud Setya Negara menampilkan karya-karya yang berakar dari pengalaman sehari-hari di kota: macet, percampuran budaya, ketimpangan, hingga ruang-ruang eksistensial yang menyempil di tengah beton dan gemerlap.
Sementara itu, perupa undangan Agus Iswahyudi, Avisa ‘Cichat’ Azalia, dan Saepul Bahri memberikan perspektif segar yang membuka dialog lintas medium dan teknik. Mereka menyajikan tidak hanya lukisan dua dimensi, tetapi juga karya tiga dimensi yang mengusik persepsi ruang.
Kurasi dan Rangkaian Acara
Pameran ini dikurasi oleh Dimas Aji Saka dan Dian Ardianto, yang memandang Jakarta sebagai “kanvas besar yang tak pernah selesai.” Melalui pameran ini, publik diajak menyusuri lorong-lorong visual Jakarta—yang kadang rawan, kadang romantik, tetapi selalu menarik.
Selain pameran utama, akan digelar pula workshop publik selama pameran berlangsung, sebagai upaya memperluas keterlibatan dan edukasi seni bagi masyarakat. Jadwal kegiatan akan diumumkan melalui kanal resmi penyelenggara.
Informasi dan Kontak
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Avisa ‘Cichat’ Azalia (0877-8266-7036) Dimas Aji Saka (0856-5519-2523)
“Otak-atik Jakarta” adalah ruang temu antara seni, kota, dan kesadaran kolektif. Ia mengajak kita berhenti sejenak, memandang Jakarta bukan sebagai masalah, tapi sebagai inspirasi yang tak habis digali. Sebab Jakarta bukan hanya tempat tinggal—ia adalah cermin, dan kadang: teka-teki yang tak kunjung rampung.(Christian Saputro)




