Semarang – Hingar-bingar kontestasi politik 2024 sudah mulai ramai, terutama ditataran nasional, yang berkaitan dengan Calon Presiden (Capres). Namun bukan berarti dinamika perpolitikan lokal, khususnya Kota Semarang minim gairah.
Hal itu diungkapkan jubir DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Semarang, Bayu Romawansebagai catatan, tahun 2024 Hendrar Priadi harus meletakkan jabatannya sebagai Walikota Semarang. Selain itu, kemunculan politisi muda dan politisi baru akan menambah warna parlemen Kota Semarang di tahun 2024.
“Pemilu legislatif (Pileg) 2019 di Kota Semarang memang masih didominasi oleh wajah-wajah lama. Namun itu bukan berarti generasi muda dan generasi baru menemui jalan buntu, sebagai catatan, Pileg 2019, PSI sebagai partai baru yang punya semboyan “partainya anak muda”, berhasil memasukkan 2 wayah baru di jajaran parlemen Kota Semarang,” papar Bayu yang menggawangi Divisi Humas DPD PSI Kota Semarang.
Bayu menandaskan, tak sampai disitu, Melly Pangestu, menjadi satu-satunya perempuan yang menjabat sebagai Ketua partai politik di Kota Semarang, yakni ; PSI. Di sinilah dapat disigi dinamika jagad perpolitikan di Kota Semarang beranjak progresif dan terbuka bagi generasi muda, generasi baru, dan terkhusus untuk kaum perempuan.
“Bukan menjadi sebuah rahasia, selama ini dalam dunia politik, perempuan dominan menjadi opini kedua, atau bahkan hanya mendapat peran sebagai penggugur kewajiban untuk menyertakan kaum perempuan (sebanyak 30%) dalam susunan pengajuan calon Anggota legislatif,” terang Bayu.
Lebih jauh, menurut Bayu, jika Melly Pangestu dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi representasi majunya kaum perempuan (sekaligus generasi baru) di panggung politik Kota Semarang, maka Juan Rama dari PKB adalah representasi anak muda di parlemen Kota Semarang.
Bayu menegaskan, harus diakui, bahwa kultur lama perpolitikan di Indonesia, atau khususnya Kota Semarang cukup berpengaruh terhadap lambannya kemunculan kaum perempuan, kaum muda , baik dilihat dari kacamata usia maupun secara pengalaman di panggung politik.
“Singkatnya, ada pemeo No money, no vote, Tak ada uang tak ada suara. Wani piro ? Akibatnya, dia lagi dia lagi yang jadi. Muara akhirnya yang ada status quo,” imbuh Bayu.
Semarang yang berkedudukan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah dan juga sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia, semestinya harus progresif di segala bidang, termasuk bidang politik . Maka yang terjadi akan menjadi stagnan atau bahkan kemunduran jika status quo melilit kota besar seperti Semarang.
Stabilitas kehidupan sosial masyarakat Kota Semarang bukan berarti mempertahankan status quo, tetapi lebih tepatnya menjaga dan mengawal progresifitas kota untuk bertumbuhkembang. Hal ini tentu hanya menjadi tanggung jawab partai politik sebagai produsen sekaligus distributor tunggal politisi di parlemen dan pemerintahan, Tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai pemilih tunggal para politisi.
“Kemunculan kaum perempuan, kaum muda dan wajah-wajah baru di pileg 2019 bisa dijadikan sebagai pemicu gairah dan karya untuk era politik baru di Kota Semarang, pada pileg, pilkada, dan pilpres 2024 mendatang,” terang Bayu.
Menurut Bayu cepat atau lambat hadirnya era politik baru di Kota Semarang ini ditentukan oleh mandat dari masyarakat serta edukasi dari partai politik yang progresif dan terbuka kepada siapa saja.
“Partai politik bukanlah (agen) tiket untuk menghantarkan masyarakat masuk ke dalam Sistem ketatanegaraan, tetapi partai politik adalah media sekaligus kendaraan untuk pengabdian.Siapkah kita, bahu membahu membangun solidaritas warga Kota Semarang untuk memasuki era baru?,” pungkas Divisi Humas DPD PSI Kota Semarang mengunci perbincangan. (Christian Saputro)




