Oleh: Christian Heru Cahyo Sputro *)
Di suatu pagi yang tenang di bulan Juli, di ruang audio visual kantor Dinas Arsipus berdiri di depan para penulis puisi, Fadjar Setiyo Anggraeni—Ketua Satupena Kota Semarang dan kurator antologi Anakku Harapanku—menyambut dengan senyum lembut dan mata yang berbinar.
Ia tidak membawa kertas sambutan, tidak juga teori tentang puisi. Yang ia bawa hanyalah satu hal: cinta yang mendalam pada kata-kata yang lahir dari hati rumah.
“Buku ini hadir karena sastra anak dan keluarga terlalu lama dibiarkan sunyi,” ujarnya lirih, seolah tengah membacakan prolog dari sebuah bab kehidupan. “Padahal justru di sana, di ruang-ruang paling sederhana itu, puisi-puisi paling jujur tumbuh diam-diam, ” sambungnya.
Ruang Reflektif yang Hilang di Tengah Riuh Dunia
Menurut Fadjar, dunia modern seringkali memaksa keluarga untuk berlari terlalu cepat, sampai lupa duduk sejenak untuk berbicara dari hati ke hati. Anakku Harapanku hadir sebagai jeda—sebuah napas panjang yang mengajak kita kembali merenungi relasi paling purba: orang tua dan anak, rumah dan harapan.
“Kami ingin ada ruang sastra yang membumi. Ruang tempat anak-anak bisa berkata jujur tanpa takut salah. Tempat ibu-ibu bisa menulis tentang rindu tanpa harus merasa harus jadi penyair profesional.”
Menjaring Penulis, Menemukan Keberanian
Antologi ini, kata Fadjar, bukan dikurasi untuk mencari puisi terbaik, tetapi untuk menyambut suara-suara paling tulus. Prosesnya terbuka tanpa batas bentuk. Siapa pun boleh mengirimkan puisinya—entah ia seorang guru, pelajar, jurnalis, atau ibu rumah tangga.
“Kami lebih memilih keberanian batin daripada teknik. Karena kejujuran, pada akhirnya, jauh lebih menyentuh daripada keindahan yang dibuat-buat,” jelasnya.
Beberapa puisi dalam buku ini ditulis dengan gaya yang sederhana, tetapi sarat dengan makna. Seperti kutipan dari puisi Christian Heru:
“Gadis kecil tak ingin jadi ratu,
ia hanya ingin jadi pelukis yang jujur.”
Sementara itu, Adnan Ghiffari menulis dengan suara seorang ayah yang menghangatkan:
“Bukan karena kau harus sempurna,
tapi karena kau berani mencoba.”
Puisi yang Tidak Dinilai, Tapi Didengar
Sebagai kurator, Fadjar mengambil pendekatan yang jarang ditemukan di dunia sastra: ia tidak mengoreksi, tapi menemani. Setiap puisi diberi ulasan, bukan dalam bentuk kritik teknis, tetapi refleksi batin yang menghangatkan.
“Kami ingin menjadi pembaca pertama yang menjaga lentera kata. Bukan penjaga pagar estetika,” tuturnya. “Karena bagi kami, keberanian untuk menulis sudah cukup pantas dirayakan.”
Semarang Bicara Lewat Puisi
Dalam banyak puisi di buku ini, terasa bagaimana Semarang hadir bukan sebagai latar belakang, tetapi sebagai jiwa. Rumah-rumah tua, gang-gang kecil, pasar pagi, bahkan bau hujan di Gang Pinggir—semuanya hadir sebagai fragmen yang mengikat puisi pada tanah kelahirannya.
“Kami ingin kota ini berbicara dalam kata, bukan sekadar dalam data,” katanya tegas mengutip larik puisi Muhammad Agung Ridlo seorang dosen yang juga pemerhati lingkungan.
Di tengah maraknya digitalisasi dan statistik, puisi menjadi cara lain untuk menjaga identitas lokal, dan membuat Semarang tetap bernyawa secara emosional.
Bukan Sekadar Buku, Tapi Gerakan Literasi
Bagi Fadjar, Anakku Harapanku bukan titik akhir, melainkan permulaan sebuah gerakan. Sebuah langkah kecil menuju lahirnya lebih banyak karya sastrakomunitas, yang tidak hanya lahir dari tangan terlatih, tapi dari hati yang rindu untuk bicara.“Sastra komunitas bisa berdampak. Puisi keluarga bisa membuka ruang antar generasi. Ia bisa menyembuhkan, mendekatkan, bahkan menyelamatkan,” ucapnya pelan.
Ajakan yang Tulus untuk Membaca dan Merasakan
Menutup perbincangan, Fadjar menyampaikan rasa terima kasih kepada para penulis dan pembaca yang telah ikut menenun harapan dalam buku ini. “Mari membaca bukan hanya untuk menikmati, tapi untuk memahami. Karena kadang, satu bait puisi cukup untuk membuat kita mengerti seseorang,” ucapnya sambil membalik satu halaman dari naskah yang dipegangnya..
“Puisi ini tempat anak-anak berdiam, dan orang tua mengenang.”
Di luar ruangan, matahari mulai meninggi. Tapi di dalam ruang itu, cahaya lain sedang menyala—cahaya harapan yang lahir dari kata-kata sederhana yang jujur, ditulis dengan cinta, dan dibacakan dengan hati.
“Anakku Harapanku” adalah buku yang tak hanya dibaca dengan mata, tapi dengan dada yang terbuka.”
Semarang, 23 Juli 2025
*) Jurnalis, penyula kata-kata dan mozaik potret kota tinggal di Tembalang Semarang.