Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya’ SKH Sumatera Post tinggal di Tembalang Semarang
Di antara gemerlap lampu Festival Kota Lama dan derai hujan yang tak kunjung reda, sekelompok penari dari Lampung menari dengan tenang dan penuh khidmat. Tubuh mereka bergerak dalam harmoni yang mendalam, seolah menyatu dengan irama alam. Itulah momen ketika “Ayak-ayak”—karya tari persembahan DianArza Arts Laboratory (DAAL) —lahir di panggung Fiesta Folklore Festival 2025, Sabtu malam (13/09/2025), dan langsung memikat penonton hingga larut dalam hipnosis budaya.
Tarian ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah napas panjang dari kehidupan perempuan-perempuan penderes damar di hutan-hutan pesisir Lampung. Mereka, para ibu dan nenek yang! menggantungkan hidup dari getah damar, hadir dalam tubuh para penari: tangguh, setia pada alam, dan senyap dalam perjuangan.
Dari Hutan ke Panggung Dunia
Dian Anggraini, pendiri DAAL, menjadikan panggung sebagai ruang pengakuan bagi mereka yang kerap dilupakan sejarah: perempuan penjaga hutan. “Ayak-ayak” bukan hanya tentang damar. Ia tentang perempuan yang memikul ekonomi, melestarikan hutan, dan menjaga warisan tanpa suara,” ujar Dian.
Tarian ini menyulam elemen musik tradisi, fragmen nyanyian kerja, dan pola gerak yang menyerupai ritus. Setiap langkah seperti menyentuh akar pohon, dan setiap hentakan seakan mengetuk ingatan kolektif tentang relasi manusia dengan alam.
Di tengah derasnya hujan malam itu, para penari tak goyah. Mereka menari dalam genangan, tubuh basah, tapi jiwa menyala. Penonton pun diam. Mungkin karena kagum, mungkin karena tersentuh. Mungkin keduanya.
Ruang, Suara, dan Harapan
Ayak-ayak menjadi bentuk estetika yang mengandung kekuatan naratif. Dalam diam gerak, tersimpan suara perempuan-perempuan yang selama ini bekerja dalam senyap. Tidak hanya sebagai karya seni, Ayak-ayak adalah narasi ekologis dan sosial, tentang alam yang butuh dirawat dan perempuan yang harus diakui perannya.
Tahun depan, Ayak-ayak akan menari lebih jauh—ke Bulgaria dan Perancis. Membawa serta aroma damar, cerita hutan, dan napas perempuan Nusantara. Sebuah langkah kecil dari panggung kota lama menuju panggung dunia.
Karena pada akhirnya, seni bukan sekadar tontonan. Ia adalah pengingat. Bahwa di balik kilau kota dan denting globalisasi, masih ada perempuan yang memanjat pohon setiap pagi demi tetes damar. Dan dari getah itulah, warisan dan kehidupan mengalir.
Festival boleh usai. Tapi pesan Ayak-ayak menetap, seperti wangi damar yang pelan-pelan menyusup ke dalam dada.
Menurut Koreografer Dian Anggraini tari ‘Ayak-ayak ” ini bakal diusung ke panggung Internasional festival di Bulgaria dan Perancis tahun 2026 mendatang.(*)