Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka puisi tinggal di Tembalang Semarang.
Di tengah riuh zaman yang kerap melupakan, Kesibukan Membuat Sejarah hadir seperti nyala lampu kecil di lorong gelap yang panjang. Kumpulan 100 sajak karya Udo Karzi ini bukan sekadar catatan perasaan, melainkan elegi sejarah alternatif yang menyentuh luka-luka kolektif dan jejak-jejak yang nyaris dilupakan.
Udo bukan hanya menulis puisi—ia menggugat. Mengajak pembaca berjalan perlahan menyusuri ruang-ruang yang tak sempat tercatat dalam buku pelajaran, menengok sisi lain dari pembangunan, nasionalisme, dan modernitas yang kadang kehilangan rasa.
Sajak sebagai Jejak dan Gugatan
Dalam setiap baitnya, Udo menolak untuk tunduk pada narasi besar yang seragam. Ia menulis dari pinggiran, untuk mereka yang suaranya tertinggal. Kritik sosial, ekologi budaya, hingga perlawanan atas penyeragaman identitas menjadi tema yang ia jahit dengan diksi tajam, tapi tetap puitis.
Puisinya adalah tubuh yang menolak dibungkam, memori yang enggan mati muda. Seperti akar ilalang yang terus tumbuh meski diinjak berulang.
Pengakuan atas Perlawanan Liris
Buku ini tak luput dari pengakuan para penyair dan pengamat sastra. Doddi Ahmad Fauji menyebut Udo Karzi menjalankan “tugas kenabian” dalam puisinya: menjadi saksi dan penyampai kebenaran dari balik reruntuhan fakta. Erina Pane menyebutnya “perlawanan yang halus tapi tegas”—sebuah cara elegan untuk tetap bertahan di tengah gelombang penyeragaman budaya.
Puncaknya, Hadiah Sastra Rancagé 2025 pun diberikan kepadanya—sebuah pengakuan bahwa suara lokal, ketika ditulis dengan jujur dan tajam, mampu menembus tembok yang paling kukuh.
Lebih dari Sekadar Buku
Kesibukan Membuat Sejarah bukan sekadar karya sastra—ia adalah dokumen hidup. Ia mencatat yang tak tercatat, menggugah yang tertidur, dan menyalakan api di hati mereka yang merasa kehilangan arah.
Di zaman yang sibuk membangun gedung, Udo Karzi sibuk membangun ingatan. Dan itu adalah pekerjaan paling sunyi—tapi juga paling penting. (*)




