Semarang — Di tengah kepungan persoalan urban seperti banjir, longsor, hingga alih fungsi lahan, warga Kampung Jatiwayang di Semarang Barat tak kehilangan cara untuk bertahan dan bersuara. Melalui Festival Bukit Jatiwayang, yang tahun ini memasuki penyelenggaraan keenam, mereka kembali merayakan kebersamaan, merawat tradisi, dan menggelar harapan untuk masa depan kampung yang lestari.
Festival tahun ini mengusung tema “Tetandur” — sebuah metafora menanam kembali nilai-nilai gotong royong, solidaritas, dan identitas lokal agar terus tumbuh di tengah gempuran perubahan kota. Tidak hanya sebagai perayaan seni dan budaya, festival ini juga menjadi ruang reflektif tentang hak warga atas ruang hidup yang layak.
Dialog Terbuka Lewat Pekakota Forum
Sebagai bagian dari festival, Pekakota Forum #83 digelar pada Rabu (17/9) malam di tengah kampung. Forum ini mempertemukan warga, komunitas, akademisi, serta perwakilan dari Komisi B dan D DPRD Kota Semarang dan Dinas Lingkungan Hidup. Hadir pula akademisi Muhajir dari Universitas PGRI Semarang dan dimoderatori oleh Seila Ardiyanti dari LPM VOKAL.
Diskusi berlangsung hangat, membahas keterancaman lingkungan dan pentingnya pendekatan partisipatif dalam pembangunan. “Kemandirian warga adalah kunci. Mereka sudah terbukti mampu bertahan tanpa banyak intervensi. Tapi negara tidak boleh absen,” ujar Adin dari Kolektif Hysteria. Sementara itu, Anwar dari FISIP UNNES menambahkan bahwa pembangunan sejati hanya bisa terwujud jika masyarakat dan pemerintah berjalan beriringan.
Lebih dari Sekadar Festival
Bagi warga Jatiwayang, festival ini bukan seremoni tahunan semata. Ia adalah cara untuk mengingat, bersuara, dan membangun solidaritas antarwarga. Di atas tanah yang rawan longsor dan tekanan urban, mereka memilih untuk menanam harapan—baik lewat seni, forum diskusi, maupun aksi kolektif.
Festival Bukit Jatiwayang tahun ini menegaskan satu hal penting: bahwa menjaga kampung dan budaya bukanlah kerja nostalgia, melainkan investasi masa depan. Kota boleh berubah, tapi identitas dan daya juang warga tetap menjadi akar yang tak mudah tercerabut. (Christian Saputro)