Catatan : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, garis lucu tinggal di Tembalang, Semarang
Semarang – Sore 17 Agustus 2025, halaman kecil Tan Artspace di Jalan Papandayan 11 terasa lebih ramai dari biasanya. Di balik tembok putihnya, bukan sekadar pameran seni yang hendak dibuka, melainkan sebuah perayaan yang getir sekaligus jenaka: Pameran Kartun “Merdeka atau Mati Kutu”.
Di ruang sederhana itu, Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) mengumpulkan belasan karya dari para perupa (kartunis) lintas generasi.
Kartun karya 17 para kartunis ternama Indonesia, Abdullah Ibnu Thalhah , Agoes Aja Jumianto , Beng Rahadian , Djoko Susilo , Diyan Bijac, Jango Pramartha , Jajak Solo, Jitet Koestana, Koesnan Hoesie, Muhammad Syaifuddin Ifoed , Mice Misrad, Sukriyadi Sukartoen, Thomdean , Mas Kustiono, Wahyu Kokkang, Wawan Bastia dan Yeksa Sarkeh Chandra, yang menghadirkan humor tajam sekaligus refleksi kemerdekaan.
Kartun-kartun yang dipajang bukan sekadar goresan humor, melainkan sindiran tajam tentang bangsa yang katanya merdeka, tapi masih sering “mati kutu” di hadapan realitas sosial, politik, dan hukum yang timpang.
Acara dibuka dengan hangat oleh MC Nana yang menyapa tamu-tamu undangan: dari Ketua KPU Jawa Tengah, pemilik galeri, kurator, hingga para kartunis sendiri yang sore itu tampak sibuk menyiapkan “peluru-peluru visual” mereka. Lagu Indonesia Raya berkumandang dipimpin Salamah, menghadirkan suasana khidmat, seakan menegaskan bahwa meski sarat tawa, pameran ini tetap berbicara tentang nasib sebuah bangsa.
Pemilik Tan Artspace, Dony Hendro Wibowo, dalam sambutannya menyebut kartun sebagai cermin yang seringkali lebih jujur dibanding wacana politik.
Abdullah Ibnu Thalhah, presidium Pakarti, menambahkan: “Kartun tidak sekadar gambar, ia adalah cara kami bertanya, menggugat, sekaligus merayakan kemerdekaan dengan bahasa yang membumi.”
Pernyataan kuratorial dari M. Rahman Athian mengupas tema “Merdeka atau Mati Kutu” sebagai ironi sekaligus tantangan: apakah kita benar-benar merdeka jika korupsi masih merajalela, jika buruh masih tertindas, jika rakyat kecil masih dianggap sekadar beban? Kurator menyebut karya-karya ini sebagai “tertawaan getir”—membuat orang tergelak, namun dengan rasa pahit di ujungnya.
Puncak acara adalah peresmian oleh Komisioner KPU Jawa Tengah, Muslim Aisha, yang menegaskan bahwa kartun punya peran dalam menjaga demokrasi. Ia menerima kenang-kenangan berupa karya kartun dari Saifudin Ifoed, seakan simbol bahwa seni dan politik, setajam apapun jaraknya, tetap saling berkaitan.
Selepas seremoni, panggung beralih ke “perform kartun”—para kartunis secara langsung melukis di tembok kosong. Garis-garis spontan menjelma wajah-wajah tokoh, simbol-simbol perlawanan, juga humor-humor nakal yang membuat penonton tak berhenti tertawa kecil.
Tour pameran kemudian membawa tamu menyusuri dinding penuh karya: dari Jitet Kustana yang menghadirkan “Sang Pemulung” sebagai pahlawan tak terlihat, hingga Beng Rahadian dengan “Gurusaurus”-nya, satire tentang guru yang gagap digital. Ada pula karya Abdullah Ibnu Thalhah “Kapal Republik” yang menggambarkan bangsa sebagai kapal penuh muatan paradoks; dan karya-karya lain yang menggoda, menyindir, bahkan menyakitkan.
Di akhir acara, ramah tamah sederhana dengan kudapan dan kopi hangat membuat suasana cair. Para tamu, kurator, dan kartunis berbaur, saling menertawakan ironi-ironi bangsa yang tadi mereka lihat di dinding. Di sudut ruangan, kamera-kamera menyalakan blitz, mengabadikan momen bersama.
Namun yang tersisa bukan sekadar foto, melainkan pertanyaan yang menggantung: Apakah kita benar-benar merdeka, atau masih mati kutu?
Kartun mungkin hanya gambar sederhana, tapi sore itu, di Tan Artspace, ia berbicara lebih lantang daripada pidato panjang manapun.Senja pun merdeka beringsut menjadi malam penuh ketawa, bisa jadi sebelum tettawa terkena pajak.(*)




