Semarang — ALSPERO Indonesia terus mendorong pelestarian warisan pendidikan melalui penyelenggaraan MULO Festival, sebuah langkah kreatif dan partisipatif untuk memperkuat posisi SMP Negeri 2 Semarang sebagai aset heritage pendidikan. Festival ini diharapkan dapat mengantarkan sekolah tersebut memperoleh pengakuan publik yang lebih kuat, minimal sebagai cagar budaya pendidikan Kota Semarang, bahkan berpotensi sebagai bagian dari warisan dunia.
Ketua ALSPERO Indonesia, Setyo Maharso, didampingi Sekretaris Umum Koeshartanto, menegaskan bahwa MULO Festival berfungsi sebagai upaya konservasi heritage SMP Negeri 2 Semarang yang berkelanjutan. Menurutnya, penguatan kesadaran publik menjadi langkah awal penting agar bangunan bersejarah tersebut memperoleh perlindungan hukum, perawatan berkelanjutan, serta terhindar dari perusakan maupun alih fungsi yang tidak sesuai.
Sementara itu, Ketua MULO Festival ke-2, Budiharto, dalam sambutannya menyampaikan harapan agar festival ini dapat berdampak jangka panjang dan berkelanjutan sebagai agenda dwi tahunan. Ia menilai, pendekatan festival mampu menjembatani kepentingan edukasi, konservasi, dan partisipasi masyarakat secara luas.
Melalui MULO Festival, lanjut Budiharto, ALSPERO Indonesia berupaya mendukung konservasi fisik bangunan dengan menggalang jejaring, dukungan, serta perhatian para pemangku kepentingan.
Kolaborasi dengan pemerintah, komunitas heritage, hingga sektor swasta dinilai penting untuk mendukung pemeliharaan bangunan, restorasi elemen arsitektur asli, serta penerapan prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya yang melibatkan partisipasi publik.
Pendekatan ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap SMP Negeri 2 Semarang, sehingga konservasi tidak menjadi tanggung jawab sepihak. Festival juga menjadi sarana pembelajaran langsung tentang pentingnya pelestarian bangunan bersejarah yang terhubung dengan pendidikan, sejarah, dan identitas bangsa. Dengan demikian, sekolah ini dapat tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai institusi pendidikan, sekaligus menjadi bagian dari narasi besar sejarah kolonial dan pendidikan di Semarang.
Jika ditelusuri sejak awal berdirinya sebagai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada sekitar 1920-an, SMP Negeri 2 Semarang telah berusia lebih dari 105 tahun hingga 2025. Keberadaannya tidak lepas dari konteks kolonialisme Hindia Belanda, ketika Semarang berkembang sebagai kota pelabuhan strategis dan poros maritim penting di pesisir utara Jawa. Kondisi tersebut turut memengaruhi tata kota dan arsitektur, yang ditandai dengan pembagian kawasan Eropa, Pecinan, dan permukiman pribumi.
Pada masa kolonial, sekolah-sekolah seperti ELS, HIS, MULO, dan HBS didirikan terutama untuk kepentingan orang Eropa dan elite pribumi. Namun, dalam perkembangannya, MULO justru melahirkan kaum terpelajar pribumi yang kritis dan memiliki kesadaran nasionalis. Lulusan sekolah-sekolah ini berperan penting dalam perkembangan pers, organisasi pergerakan, serta pembentukan elite terdidik yang menjadi motor perjuangan menuju kemerdekaan.
Gedung-gedung bekas MULO yang masih berdiri hingga kini menjadi bukti penting perkembangan sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus mencerminkan dinamika sosial antara penjajah dan pribumi. Nilai sejarah inilah yang ingin terus dihidupkan kembali melalui MULO Festival, dengan mengaitkan kajian sejarah arsitektural dan relevansinya bagi generasi masa kini.
Melalui pameran, tur heritage, diskusi, dan pertunjukan budaya, MULO Festival menjadi media edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran sejarah (historical awareness), khususnya di kalangan generasi muda. ALSPERO Indonesia menilai, festival ini membuktikan bahwa pelestarian heritage dapat dilakukan secara edukatif, kreatif, dan partisipatif, sekaligus memperkuat ingatan kolektif bangsa terhadap sejarah pendidikan Indonesia. (Christian Saputro)




