Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tradisi tinggal di Tembalang Semarang.
Di sebuah rumah sederhana di Jl. Wonodri Baru Raya No. 58, Semarang, seni tari tidak sekadar menjadi hiasan dinding atau cerita masa lalu—ia hidup, bernapas, dan berdenyut dalam tubuh seorang perempuan sepuh bernama Murahmi. Di usia 88 tahun, ia masih menyimpan keluwesan, seolah setiap sendi tubuhnya adalah perpanjangan dari doa dan dedikasi.
Lahir di Brebes, 17 Juli 1937, Murahmi kecil tumbuh dengan naluri seni yang tak biasa. Kala teman-teman sebayanya bermain congklak atau berkejaran di pematang sawah, Murahmi lebih senang menirukan gerakan tari dari pertunjukan rakyat. Hasrat itu menemukan bentuknya ketika remaja, saat ia bergabung dengan kelompok *Wayang Orang Wahyu Budoyo di Semarang dan memerankan Srikandi—tokoh perempuan perkasa yang menjadi lambang keberanian dan keanggunan.
Namun, seperti banyak kisah kesenian tradisional di negeri ini, kelompok Wahyu Budoyo akhirnya harus meredup, terbenam oleh gelombang zaman dan masalah ekonomi. Tapi Murahmi tak pernah berhenti menari. Ia pindah panggung ke ruang yang lebih kecil tapi tak kalah mulia: sekolah-sekolah dan halaman rumahnya sendiri.

Dari taman kanak-kanak hingga SMP, ia menanamkan cinta tari kepada generasi baru.
Melalui Sanggar Andhika Budaya, yang ia dirikan di kediamannya, Murahmi mencipta ruang aman bagi anak-anak untuk mengenal, mencintai, dan menyatu dengan warisan budaya. Dalam ruang sederhana itu, tak hanya teknik yang diajarkan, tapi juga nilai—tentang ketekunan, kehalusan rasa, dan pentingnya merawat akar.
Pada peringatan Hari Tari Dunia 2020, Universitas Negeri Semarang (UNNES) menganugerahkan Murahmi gelar sebagai Penari Tertua. Tapi gelar itu tak cukup merangkum seluruh dedikasinya. Sebab ia bukan sekadar penari tua, tapi penjaga api yang menolak padam. Ia adalah tubuh yang menghidupkan tradisi, bukan sekadar menyimpannya dalam ingatan.
Meski kini sudah tak lagi mengajar secara aktif sejak usia 75 tahun karena kondisi kesehatan, estafet itu telah diturunkan. Ketiga anak perempuannya kini menjadi guru dan dosen tari, melanjutkan misi ibunya bukan dengan paksaan, tapi panggilan batin. Cucu-cucunya pun menari, bahkan buyutnya pun telah menapaki panggung yang dulu juga diinjak sang buyut—sebuah siklus yang memeluk waktu.
Dalam jagad tari, Murahmi bukan hanya pengajar atau pelaku. Ia adalah penghayat. Setiap gerakannya adalah bentuk cinta, dan setiap langkahnya adalah bentuk syukur. Ia menjadikan tari sebagai cara bicara kepada semesta, menjahit sejarah lewat tubuhnya sendiri.
“Seni bukan sekadar gerak tubuh, melainkan bahasa jiwa yang tak lekang oleh waktu.” ucapnya suatu sore, dengan suara bergetar tapi penuh keyakinan.
Di senja usianya, Murahmi telah menjadi sosok yang melampaui panggung. Ia adalah panggung itu sendiri—tempat di mana tradisi menari, kenangan berdendang, dan harapan menari-nari dalam napas yang tak pernah lelah.
Sebab tari, dalam tubuh Murahmi, bukan lagi sekadar pertunjukan. Ia adalah doa yang bergerak —dan doa itu akan terus hidup, selama masih ada yang bersedia menarikan warisan. (*)