Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya Suatera Post tinggal di Semarang
Semarang, pagi 23 September 2025. Langit biru terbentang, mentari menyalakan semangat, dan di Hotel Aston Inn Padanaran Semarang, puluhan perias pengantin berkumpul dengan hati yang penuh harap. Mereka datang dari seluruh penjuru Jawa Tengah, membawa rindu untuk berjumpa, sekaligus misi besar: merajut langkah baru bagi HARPI “Melati” Jawa Tengah.
Musyawarah Daerah (Musda) XI ini bukan sekadar forum. Ia adalah perayaan tradisi, arena konsolidasi, dan panggung regenerasi. Tema yang diusung, “Satukan Langkah, Eratkan Persaudaraan, Wujudkan HARPI Melati Berdaya dan Bermartabat”, menjelma sebagai doa sekaligus janji. Bahwa di tengah arus globalisasi yang kian deras, HARPI Melati tetap teguh menjaga akar budaya melalui seni tata rias pengantin tradisional.
Yati Djoko Wahyudi, Pemimpin yang Kembali Dipercaya
Tepuk tangan riuh menggema saat nama Yati Djoko Wahyudi kembali ditetapkan sebagai Ketua DPD HARPI Melati Jawa Tengah periode 2025–2030. Sosoknya bukan orang baru. Dengan keteduhan, komitmen, dan pengabdian panjang, ia ibarat melati yang terus mekar: sederhana namun harum, lembut namun berdaya.
“Musda ini bukan akhir, tetapi awal baru untuk lebih memperkuat HARPI Melati. Kita harus semakin solid, kreatif, dan tetap berakar pada budaya,” ungkap Yati penuh haru.
Rias Pengantin, Bahasa Budaya yang Tak Lekang
Dalam sambutannya, Kepala Disporapar Jawa Tengah, Muhamad Masrofi, menekankan makna filosofis rias pengantin. “Setiap paes, setiap guratan, bukan hanya estetika. Ia adalah identitas, doa, dan simbol budaya,” tuturnya.
Rias pengantin Jawa, dengan lengkung paes di dahi, melambangkan keteguhan, kesucian, dan harapan akan rumah tangga yang harmonis. Di sinilah HARPI Melati menjadi lebih dari sekadar organisasi profesi: ia adalah benteng warisan, sekaligus jembatan bagi generasi muda untuk mengenal akar budaya.
Pesan dari Pusat, Harapan dari Daerah
Hj. Listiani Sintawati, S.H., Ketua Umum DPP HARPI Melati, memberikan makna mendalam pada nama “Melati”: Memetri (melestarikan), Langgeng (abadi), Toto Coro (tata cara). Filosofi itu menjadi pengingat bahwa seni rias pengantin tak boleh tercerabut dari pakem, meski inovasi modern terus hadir.
Sementara Ratna Hidayati, Ketua Panitia Musda XI, menyebut forum ini sebagai “ruang silaturahmi, evaluasi, dan inovasi.” Ia mengajak semua anggota untuk menjadikan Musda sebagai pijakan yang lebih kokoh dalam mengasah profesionalisme, menjaga tradisi, dan menghidupkan kreativitas.
Generasi Muda dan Era Digital
Satu pesan yang berulang kali digaungkan dalam Musda XI adalah keterlibatan generasi milenial. Media sosial, platform digital, hingga inovasi dalam rias pengantin tak lagi dianggap ancaman, melainkan peluang. Bayangkan paes pengantin Jawa tampil anggun di Instagram, atau busana adat tampil megah di panggung internasional lewat TikTok. Semua itu adalah jalan baru untuk membuat budaya kian hidup.
Akhir yang Jadi Awal
Musda XI ditutup dengan doa dan puisi, seolah meneguhkan tekad. Rias pengantin adat bukan sekadar karya, melainkan identitas bangsa. HARPI Melati Jawa Tengah, di bawah kepemimpinan Yati Djoko Wahyudi, kini melangkah dengan amanah baru: menjadi organisasi yang semakin berdaya, bermartabat, dan relevan dengan zaman.
Seperti melati yang tak pernah kehilangan harum meski kecil dan sederhana, HARPI Melati akan terus mekar. Menjaga warisan, memperkuat persaudaraan, dan menyulam masa depan dengan benang budaya yang tak lekang waktu. (*)