Semarang — Komunitas wayang orang legendaris Ngesti Pandowo kembali menunjukkan daya hidup seni tradisi dengan mementaskan fragmen kontemporer “Sang Bima” di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jumat (28/11/25). Pementasan ini menjadi salah satu agenda utama dalam Launching Jawa Tengah Calendar of Events 2026.
Menggandeng sutradara Budi Lee, penata musik Githung Swara, serta koreografer Paminto Krisna, pertunjukan ini menghadirkan interpretasi segar atas kisah ksatria Bima—tokoh pewayangan yang dikenal kokoh, jujur, dan teguh membela kebenaran. Sentuhan kontemporer membuat fragmen ini tampil energik, tanpa meninggalkan akar tradisinya sebagai warisan seni pertunjukan Jawa.
Pertunjukan dibuka dengan narasi puitis:
“Yang Terpilih dan Terkasih, Kokoh bagai tonggak di tengah samudra… Dialah Sang Bima”,
yang langsung membangun atmosfer dramatik. Gerak para pemain, balutan kostum, dan tata panggung yang dinamis menghadirkan pengalaman visual yang kuat, mempertemukan nilai tradisi dengan estetika modern.
Kisah Perjalanan Menuju Pencerahan
Fragmen “Sang Bima” menyuguhkan perjalanan ksatria Bima dalam melaksanakan titah gurunya. Ia harus menghadapi tipu daya Kurawa dan menjalankan misi mencari Kayu Gung Susuhing Angin serta Air Perwita Sari. Puncak dramatik terbangun saat Bima berjumpa dengan Dewa Ruci—momen yang menjadi simbol pencerahan spiritual dan pemahaman hakikat hidup, Sangkan Paraning Dumadi.
Melalui dialog, musik, dan gerak yang dipadukan secara harmonis, penonton diajak memasuki perjalanan batin seorang ksatria yang mencari kebenaran di tengah godaan duniawi.
Welas Asih Sebagai Kemenangan Tertinggi
Pementasan ditutup dengan pesan moral yang tak lekang oleh waktu:
“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti”,
bahwa keperkasaan sejati hanya dapat ditundukkan oleh welas asih. Pesan ini menjadi penegas bahwa nilai-nilai luhur dalam pewayangan tetap relevan di tengah perkembangan zaman.
Melalui “Sang Bima”, Ngesti Pandowo kembali menegaskan komitmennya menjaga sekaligus memperbarui seni wayang orang. Pertunjukan ini hadir sebagai bukti bahwa kesenian tradisi dapat terus hidup dan berkembang, selama masih ada masyarakat yang percaya bahwa kearifan lokal adalah sumber kekuatan sejati. (Christian Saputro)




