Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penjalin kata, perangkai gambar, tinggal di Tembalang, Semarang.
Pada sebuah malam di penghujung Juli, ketika kota Semarang perlahan menyusut dalam hening dan cahaya remang, ada satu tempat yang tetap bersinar dengan nyala yang berbeda—bukan dari sorot lampu, tetapi dari denyut warisan, dari detak budaya yang menolak padam.
Gedung Ki Narto Sabdo, di jantung Taman Budaya Raden Saleh, bukan sekadar gedung malam itu. Ia menjelma menjadi altar peradaban—tempat sejarah dipanggil kembali, dan masa depan diberi pijakan.
Wayang Orang Ngesti Pandowo menapak usia ke-88 bukan dengan sorak sorai pesta modern, melainkan dengan khidmat yang bergetar di dada. Di setiap langkah penari, di tiap gesek siter dan pukulan kendang, ada doa diam-diam yang menyelusup ke relung terdalam: agar seni ini tak sekadar dikenang, tetapi terus dihidupi.
Nyala yang Tak Pernah Padam
Delapan puluh delapan tahun bukan waktu yang pendek. Dalam jangka itu, kerajaan pernah runtuh, ideologi berganti rupa, manusia silih berganti lahir dan pergi. Namun Ngesti Pandowo tetap berdiri. Menjadi saksi bisu zaman, sekaligus pelaku yang tak pernah menyerah pada pengikisan waktu.
Ketika banyak panggung tradisi sunyi, ketika warisan budaya hanya tinggal sebagai bab dalam buku pelajaran, Ngesti Pandowo masih menghidupkan tubuh wayang orang. Dengan segala keringat dan cinta, mereka menjaga tarikan napas budaya Jawa agar tak terputus. Mereka bukan penjaga museum; mereka adalah penggerak kehidupan.
Malam perayaan HUT ke-88 itu dimulai dalam suasana sakral. Tari Kebyok Anting-Anting, Tari Batik, hingga Ngoser menjadi salam pembuka dari para penari muda yang mewarisi gerak dengan penuh gairah. Gamelan dari Sanggar Seni Mardayu menyatu dalam irama, menjahit suasana malam menjadi satu kesatuan rasa—penuh haru, bangga, dan kerinduan.
Cahaya dari Gong, Doa dari Kirab
Ketika Gong dipukul oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso Poespojoedho, seolah sebuah waktu baru dimulai: program Cahaya Budaya diresmikan, bukan sekadar nama, tetapi janji bahwa api seni akan terus dijaga.
Kirab dolanan wayang yang mengiringi pembukaan menjadi simbol yang lebih dalam dari sekadar prosesi—itu adalah perjalanan spiritual, perjalanan batin yang membawa kita menyusuri jejak-jejak leluhur.
Darah, Dendam, dan Dharma
Lakon utama malam itu—Satru Darah Barata—bukan hanya kisah Mahabharata yang dihidupkan ulang. Ia adalah cermin kehidupan, retakan batin yang masih terasa relevan hingga hari ini.
Dibalut pengarahan panggung dari Budi Lee, koreografi khas Sri Paminto Widi Legawa, dan iringan musikal dari Sugianto, pertunjukan ini membelah malam seperti pedang Arjuna. Penonton diajak menyelami api dendam yang membakar Wangsa Barata—dua garis keturunan yang semestinya bersatu, tapi justru terbelah oleh ambisi dan rasa tak percaya.
Duryudana yang diliputi ketakutan, Pandawa yang tetap teguh pada dharma, dan bisikan-bisikan licik dari balik istana menjadi jalinan cerita yang memaksa kita bertanya: berapa banyak luka yang diwariskan oleh ego? Berapa banyak darah saudara yang tertumpah oleh harga diri?
“Satru Darah Barata” adalah drama sekaligus renungan, bahwa damai tak selalu datang dari kemenangan, melainkan dari keberanian untuk melepaskan amarah.
Tradisi Sebagai Nafas, Bukan Nisan
Apa yang membuat Ngesti Pandowo tetap hidup setelah 88 tahun? Jawabannya tak sesederhana latihan rutin atau dukungan pemerintah. Ia hidup karena ada keyakinan, bahwa tradisi adalah bagian dari jiwa. Ia hidup karena ada sekelompok manusia yang memutuskan untuk mencintai warisan ini bukan sebagai beban, tapi sebagai sumber daya rohani.
Di balik panggung, para penata kostum, pemusik, penari, dan kru bekerja dalam senyap—dengan cinta yang tak butuh tepuk tangan. Mereka adalah penjaga warisan, perawat roh budaya yang menolak dijadikan fosil.
Di akhir pertunjukan, ketika tirai tertutup dan lampu mulai redup, tak sedikit mata yang berkaca. Sebab penonton sadar, bahwa yang mereka saksikan bukan sekadar cerita kuno, tapi sebuah perjalanan panjang tentang kesetiaan, perjuangan, dan harapan.
Ngesti Pandowo, Masih Ada. Dan Akan Terus Ada.
Dalam semboyan Hamot Yuwono, Handowo Mukti—menghimpun kekuatan, menuju kemuliaan—tercermin cita-cita luhur yang tak lekang. Bahwa seni bukan sekadar tontonan, tapi jalan menuju keagungan manusia.
Ngesti Pandowo telah membuktikan bahwa budaya bukan barang purba. Ia bernyawa. Ia bertumbuh. Dan selama masih ada yang setia menghidupinya, panggung tak akan pernah kosong, gamelan tak akan pernah bisu, dan jiwa bangsa ini tak akan pernah mati.
Selamat ulang tahun ke-88, Ngesti Pandowo !.Semoga nyala ini tetap abadi, menuntun generasi demi generasi ke arah cahaya.
Semarang, 28 Juli 2025




