Semarang — senja itu, di depan Gedung Marba yang berdiri anggun sebagai saksi zaman, sebuah panggung mungil dengan tirai merah tua tersingkap perlahan. Dari balik celah, muncullah tokoh-tokoh berwarna cerah: wajah kayu dengan ukiran halus, pakaian bersulam emas dan merah, gerak yang hidup di tangan dalang.
Itulah Wayang Potehi, seni boneka tangan Tionghoa yang telah ratusan tahun menyeberangi waktu dan budaya, kini tampil kembali dalam Fiesta Folklore Nusantara, Festival Kota Lama ke-14, Jumat (12/9/2025).
Penonton, dari anak-anak hingga orang tua, duduk terpaku. Setiap gerakan boneka seolah memantulkan denyut kehidupan. Tabuhan musik tradisional Tionghoa berpadu dengan suara dalang yang lihai memainkan karakter: ada yang jenaka, ada yang gagah, ada pula yang penuh hikmah. Tawa dan kagum pun bergema, membaur dalam suasana Kota Lama yang seakan menjadi panggung besar pertemuan budaya.
Wayang Potehi di Semarang bukan sekadar hiburan. Ia adalah jejak sejarah akulturasi, saat budaya Tionghoa menyatu dengan denyut Jawa dan Nusantara. Sanggar Tek Gie Hien, yang lahir sejak 1960-an, adalah salah satu penjaga tradisi itu. Dari tangan Thio Tiong Gie, kesenian ini bertahan melewati generasi, hingga kini diteruskan oleh putranya, Thio Haouw Liep, setelah sang ayah wafat pada 2014.
Pertunjukan mereka tak hanya hadir di panggung festival. Sehari-hari, Wayang Potehi Tek Gie Hien kerap dipentaskan di Kelenteng Tay Kak Sie, Pecinan Gang Lombok, terutama pada perayaan hari besar Tionghoa. Di situlah, layar-layar kecil terbuka, kisah-kisah klasik tentang kebaikan, kesetiaan, dan perjuangan kembali hidup, menyalakan cahaya nilai yang abadi.
Kini, dalam upaya merawat warisan ini, Thio Haouw Liep melibatkan generasi muda. Anak-anak dan remaja dilatih untuk menjadi pengiring musik, menjaga agar tabuhan dan melodi tetap berpadu dengan cerita. Di tangan mereka, warisan itu menemukan napas baru: tradisi yang bukan hanya dikenang, tapi terus bergerak.
Wayang Potehi, dengan layar sederhana dan boneka mungilnya, menyampaikan pesan besar: bahwa seni adalah jembatan. Ia menghubungkan generasi dengan generasi, etnis dengan etnis, masa lalu dengan masa kini. Dan malam itu, di jantung Kota Lama Semarang, jembatan itu kembali tegak, menyatukan semua yang hadir dalam satu kisah bersama. (Christian Saputro)