Laporan Christian Heru Cahyo Saputro , Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang.
Malam itu, Sabtu 20 September 2025, Auditorium Imam Bardjo, Universitas Diponegoro, Semarang, bergetar oleh dentuman gitar, pekik puisi, dan sorak yang membuncah. “Kumpul Kekuatan” bukan sekadar konser musik. Ia menjelma ruang perlawanan, tempat di mana nada, kata, dan tubuh yang berdiri tegak bersaksi tentang sejarah, luka, dan keberanian.
Sejak pintu auditorium dibuka, ratusan orang merangsek ke depan panggung. Nafas kolektif mereka menebal di udara, menjelma energi yang siap dinyalakan.
Dan api itu benar-benar berkobar ketika Lukni Maulana naik panggung, membuka malam dengan puisi berjudul Nyala Tanah Tercinta. Dengan suara serak yang bergetar, ia membacakan baris-baris tentang darah, tanah, luka, dan cinta:
“remaja bangkit, pemuda bergerak, mahasiswa bersuara, buruh berdiri…
tanah ini, tanah darah dan air mata, tak bisa dibungkam, tak bisa dipenjarakan…”
Hening sempat turun, sebelum akhirnya riuh sorak meledak. Sejak itu, panggung berubah jadi medan perlawanan yang hidup.
Nyanyian yang Membakar
Kaukab menjadi band pertama yang menyalakan bara. Meski baru seumur jagung, kolektif yang diisi wajah-wajah lama seperti Danny, Astro, Syarief, Niam, Budi Gimbal, Bagus Saxo, Dira Biola, Imron, dan Anjani itu tampil dengan ketegasan musikal. Dua nomor mereka memadatkan energi, namun saat single Durjana dibawakan—dengan intro kolaborasi bersama Lukni—ruangan meledak jadi ruang magis. Musik dan puisi menyatu, menggores dada, dan menyulut semangat.
Lalu Sukatani Band melanjutkan gebrakan. Setiap dentuman drum, setiap petikan gitar, seolah memantulkan suara ribuan kaki yang berbaris di jalan. Mereka tidak sekadar bermain musik, mereka memanggil semangat persaudaraan. Penonton melonjak, bernyanyi, seakan menemukan dirinya bagian dari arus besar perjuangan.
Dan ketika giliran Majelis Lidah Berduri (Melbi) naik, udara semakin padat. Band yang lahir dari rahim Aksi Kamisan Semarang dan Maring Institut ini sudah lama dikenal sebagai kolektif musik yang mengguratkan kritik sosial tanpa kompromi. “Tan Malaka” mereka lantunkan, bukan hanya sebagai lagu, melainkan sebagai mantra revolusi. Disusul Cahaya, Harga dan Bioskop Pisau Lipat, lantunan mereka menjadi senjata untuk merawat ingatan: bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, dan luka masa lalu tidak bisa dikubur begitu saja.
Solidaritas yang Menyala
Tidak berhenti di situ. Woman in Bloom, Mahrazanah X Ijonk, dan sederet nama lain turut menambah warna. Di sela-sela penampilan, terdengar orasi singkat yang menyambar hati. “Ketidakadilan harus dilawan,” seru Dera, yang langsung disambut pekik dan tepuk tangan panjang.
Musik malam itu bukan hiburan. Ia menjadi obor solidaritas, jembatan antar-golongan, dan pengingat bahwa suara rakyat tidak pernah bisa dibungkam. Di setiap dentum bass dan riuh tepuk tangan, berdenyut keyakinan: perjuangan tidak mati, ia hanya berganti medium.
Musik Sebagai Senjata
“Kumpul Kekuatan” adalah bagian dari rangkaian September Hitam, sebuah agenda tahunan untuk mengingatkan publik akan pelanggaran berat HAM yang belum terselesaikan. Di panggung musik ini, luka sejarah ditransformasi jadi energi kolektif.
Dan malam itu, Semarang membuktikan sesuatu: musik bisa lebih dari sekadar nada. Ia bisa jadi senjata, obor, sekaligus doa. Dari Kaukab, Sukatani, hingga Melbi, pesan yang mengalir jelas:
Bahwa perlawanan bisa lahir dari senar gitar, dari syair yang dibacakan dengan dada terbakar, dan dari ribuan suara yang menyatu. Bahwa ingatan harus dirawat, agar luka tidak dilupakan. Dan bahwa dari panggung sederhana di sebuah auditorium, semangat melawan ketidakadilan bisa kembali menyala—seperti obor yang tidak pernah padam. (*)




