Semarang, 21 Oktober 2025 — Dibawah langit siang Kota Semarang dengan udara yang panas, gemuruh gamelan berpadu dengan suara sinden muda menggema dari Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Di sanalah, lentera-lentera kecil bernama anak-anak dan remaja dalang menyalakan cahaya baru dalam jagat seni pedalangan. Festival Dalang Anak dan Remaja Kota Semarang 2025 resmi ditutup — bukan sebagai akhir, melainkan tanda perjalanan yang baru dimulai.
Selama dua hari, sejak 20 Oktober, panggung TBRS menjadi ruang sakral bagi regenerasi seni tradisi. Satu per satu, dalang cilik dan remaja tampil membawakan lakon klasik seperti Dewa Ruci, Bima Bungkus, dan Gatotkaca Winisuda — bukan sekadar pertunjukan, tapi doa dan tekad yang disulam dalam sabetan wayang dan suluk penuh penghayatan.
Anak-anak yang Menghidupkan Legenda
Dari panggung itu, lahir para juara — bukan hanya karena trofi, tapi karena keberanian mereka menapaki jalan sunyi para dalang.
Kategori Anak:
• Juara 1: Abisam Reynand Alhanan
• Juara 2: Dafandra Ardhana Djuanda
• Juara 3: Bintang Fattan Naufa
Kategori Remaja:
• Juara 1: Irfan Dao Zaidan Nabhan, Juara 2: Brata Satianegara
• Juara 3: Ardiansyah Putra Maulana
Namun lebih dari kemenangan, yang muncul adalah keyakinan: bahwa wayang kulit tidak sedang menuju senja, tapi fajar yang dipikul di pundak generasi baru.
Sambutan Penuh Makna
Dalam sambutan penutupan, Saroso, S.Sn, Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Semarang, mewakili Kadis Wing Wiyarso Poespojoedho, menyampaikan pesan menyentuh. Ia menekankan bahwa festival ini bukan ajang mencari siapa yang terbaik, tapi siapa yang mampu mencintai budaya dengan hati yang paling jernih.
“Wayang bukan sekadar tontonan, ia adalah tuntunan. Dan hari ini, adik-adik kita telah menorehkan bukti bahwa warisan itu masih dijaga,” ucap Saroso.
Ia juga mengakui bahwa pelaksanaan festival belum sempurna. Tapi dari kekurangan itu, tumbuh tekad untuk terus memperbaiki dan memuliakan panggung-panggung budaya di masa depan.
Leluri yang Tak Boleh Redup
Festival ini adalah lentera yang menolak padam di tengah angin zaman. Ia menerangi jalan anak-anak menuju pemahaman yang lebih dalam tentang jati diri, nilai-nilai luhur, dan kecintaan pada tanah leluhur.
Wayang kulit, yang dulu diwariskan dari tangan ke tangan, kini menjelma dalam suara mungil para dalang cilik. Mereka mungkin belum sempurna, tapi semangat mereka — tulus dan murni — adalah harapan.
Ketika tirai diturunkan dan lampu-lampu dimatikan, satu hal menjadi terang: Kota Semarang tak kekurangan pewaris. Lentera-lentera kecil telah dinyalakan. Dan mereka siap menjaga cahaya budaya agar terus bersinar, melintasi zaman. (Christian Saputro)




