Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka sejarah tinggal di Semarang.
Di sela-sela kepulan asap mesiu dan gemuruh peluru yang membelah langit Semarang pada Oktober 1945, ada suara lain yang berbisik pelan namun tak kalah kuat—suara kemanusiaan. Dalam narasi besar Pertempuran Lima Hari, nama Oei Tiong Djioe tak selalu disebut dalam barisan pejuang bersenjata. Tapi jejak langkahnya melintasi gang-gang Kampung Ambengan adalah bentuk perlawanan yang tak kalah heroik: ia melawan kelaparan.
***
Sebagai wijkmeester—jabatan kepala kampung pada masa itu—Oei bukan sekadar pengurus administratif. Ia adalah penjaga denyut hidup warganya. Ketika pasar-pasar tutup, logistik terhenti, dan rasa lapar menggerogoti warga, Oei tak tinggal diam. Ia tahu, perang tidak hanya membunuh dengan peluru, tetapi juga dengan perut kosong.
Dalam sejarah Indonesia yang terlalu sering terpusat pada pusat kekuasaan, nama-nama seperti Oei Tiong Djioe kerap tertinggal di catatan kaki. Padahal, mereka adalah fondasi dari kekuatan rakyat—mereka yang bekerja diam-diam, memikul beban bersama rakyat, dan mengerti bahwa revolusi juga butuh nasi, bukan hanya nyali.
Kini, di usia kemerdekaan yang kian menua, kita mungkin perlu kembali belajar dari tokoh pinggiran ini. Dari seorang wijkmeester Tionghoa yang memilih hadir untuk bangsanya, dengan caranya yang senyap, penuh welas, dan tegas pada nilai.
Karena sejarah tak hanya ditulis oleh pemenang, tetapi juga oleh mereka yang tak pernah meninggalkan rakyat dalam kesusahan. Dan dalam sejarah Semarang, Oei Tiong Djioe adalah salah satunya—penjaga rasa, peredam lapar, dan pewaris nyala kemanusiaan.
Dalam kondisi serba tak pasti, Oei menggandeng dua nama penting revolusi: Sayuti Melik dan istrinya, S.K. Trimurti. Mereka bersama-sama mengupayakan pembagian bahan pangan dari gudang-gudang bekas milik Jepang. Sistem kupon diperkenalkan, bukan hanya untuk tertib, tetapi untuk menjaga martabat warga yang menerima bantuan. Dalam koordinasi dengan para lurah lain—termasuk Lurah Bustaman—Oei menyusun jaring distribusi yang nyaris tak tersentuh kekacauan.
***
Apa yang dilakukan Oei bukan hanya soal beras dan kupon. Ia sedang menyalakan lilin kecil di tengah padamnya harapan. Dalam lanskap sosial-politik yang panas, Oei, seorang Tionghoa dari pinggiran kota, mengajarkan bahwa keberanian tak harus memegang senjata. Ia memegang kompas moral, dan berjalan lurus di tengah badai.
Tak banyak yang tahu bahwa di balik sosok ini juga berdiri Toko Buku Merbabu, yang ia dirikan di Jalan Pandanaran. Bukan sekadar ruang jual beli buku, Merbabu adalah ruang temu ide, diskusi, dan pembentukan nalar warga. Di antara rak-rak buku itu, semangat kebangsaan tumbuh dalam diam. Menurut Profesor Hardhono Susanto , cucu menantunya, (suami drg.Grace W Susanto) di sela -sela pameran toko buku Merbabu didirikan sekitaran tahun 1959, ketika sudah pensiun bukan dari waktu masih muda membuka toko bukunya. Jadi toko buku Merbabu merupakan salah satu toko buku legendaris di kota Semarang yang kini tetap eksis.((*)