Semarang — Panggung terbuka di jantung Kota Semarang menjadi saksi pergelaran akbar Festival Wayang Semesta yang menampilkan lakon Mbangun Khayangan oleh Wayang Orang Ngesti Pandowo, Sabtu (8/11/2025) malam. Pentas ini menghadirkan perpaduan antara nilai-nilai klasik pewayangan dengan semangat refleksi pembangunan bangsa masa kini.
Pertunjukan yang digarap oleh sutradara Ricky Padovano Lee (Budi Lee), dengan koreografer Paminto Kristina dan penata musik Mas Ngabehi Giyantodiprojo (Githung Swara), mengajak penonton menelusuri kisah para dewa yang berupaya membangun kembali kahyangan. Namun, pembangunan yang dimaksud bukan sekadar fisik, melainkan pembangunan moral, jiwa, dan harmoni semesta.
Kejutan menarik hadir dalam sesi khusus ketika Walikota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti ikut naik panggung memerankan Batara Guru, pemimpin para dewa. Ia tampil bersama sejumlah pejabat daerah yang berperan sebagai para dewa forkompimda, dengan Cak Lontong yang berperan sebagai Batara HRD dan bertindak sebagai moderator rapat kahyangan. Kehadiran mereka memberikan sentuhan segar dan membumi pada pertunjukan tradisi ini.
“Partisipasi para pejabat ini menjadi simbol bahwa seni bukan sekadar hiburan, tapi juga wahana membangun nilai-nilai kebijaksanaan dan kedekatan dengan masyarakat,” ujar Budi Lee usai pertunjukan.
Dalam alur cerita, kahyangan digambarkan goyah bukan karena peperangan, melainkan karena hilangnya keseimbangan dan keserakahan yang merasuki hati para penghuninya. Batara Guru memerintahkan para Pandawa, Semar, dan Punakawan untuk mbangun kahyangan kembali. Di tengah perjalanan, muncul konflik antara cinta dan kuasa, antara pengabdian dan ambisi pribadi para raksasa yang mencoba mengambil alih kahyangan.
Lewat karakter Semar, pesan moral disampaikan: pembangunan sejati harus dimulai dari dalam diri, dari pengendalian hati dan kebersihan niat. Nilai-nilai spiritual dan sosial berpadu dalam simbol-simbol artistik yang kuat, menjadikan Mbangun Khayangan bukan hanya tontonan, tetapi juga tuntunan bagi masyarakat modern.
Pagelaran yang berlangsung hampir dua jam ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Ribuan penonton memenuhi area Simpang Lima, menikmati kisah mitologis yang disajikan dengan konsep visual dan musik yang memikat.
Dengan lakon ini, Wayang Orang Ngesti Pandowo berhasil membuktikan bahwa seni tradisi tetap relevan sebagai medium refleksi sosial dan spiritual di tengah derasnya arus modernisasi. (Christian Saputro)




