Semarang – Pagelaran wayang kulit memperingati 100 tahun kelahiran maestro pedalangan Ki Nartosabdo berlangsung meriah di Pendopo Museum Ronggowarsito, Rabu (27/7/2025). Acara yang digelar Komunitas Catur Manunggal ini menghadirkan lakon “Sang Kumbokarno” oleh dalang Ki Sindhunata, S.Sn., M.Sn., didukung sinden Eka Kebumen dan bintang tamu pelawak senior Abah Kirun.
Pertunjukan wayang dari kelompok Sindu Laras itu mampu menghidupkan kisah heroik Kumbakarna, adik Rahwana, yang meski menyadari kakaknya salah, tetap berkorban membela tanah air Alengka.
Dengan tubuh raksasa, Kumbakarna tampil sebagai simbol ksatria sejati yang gugur penuh keberanian di medan laga.
Umbul Donga untuk Maestro
Sebelum lakon dimulai, KRT Suraji, salah satu pengrawit era Ki Nartosabdo, memimpin melantunkan bersama tembang Santi Puji Langgeng sebagai umbul donga dan penghormatan untuk sang maestro. Suasana khidmat terasa ketika alunan gending menggema, melangitkan rasa syukur sekaligus kerinduan pada sosok dalang yang telah mewarnai sejarah seni pedalangan Indonesia.
Tampak hadir dalam acara ini Ketua DPRD Jateng H. Sumato, Ketua Komisi E DPRD Jateng dr. Mesy Widyastuti, Sekretaris Disbudpar Kota Semarang Syamsul Bachri Siregar, sinden senior Sutarmi, SH, serta sejumlah tokoh budaya dan akademisi.
Pesan Pelestarian Budaya
Ketua Panitia HUT 100 Tahun Ki Nartosabdo, Drs. St Sukirno, MS, menegaskan peringatan ini bukan hanya nostalgia, melainkan juga momentum menjaga warisan budaya.
“Ki Nartosabdo telah mendedikasikan hidupnya bagi seni, budaya, dan kebangsaan. Kita punya tanggung jawab moral untuk memperkenalkan budaya ini pada generasi muda dengan memanfaatkan teknologi digital agar semakin dikenal dunia,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Kabid Pembinaan Kebudayaan Disdikbud Jateng, Drs. Eris Yulianto, M.Pd. Ia menyebut Ki Nartosabdo sebagai simbol keagungan seni tradisi Jawa.
“Beliau meninggalkan lebih dari 300 karya gending yang melintasi zaman. Peringatan satu abad ini meneguhkan semangat kita untuk terus berkarya dan menjaga akar budaya,” katanya.
Refleksi dan Tausiyah
Abah Kirun, yang hadir sebagai bintang tamu, menyampaikan tausiyah jenaka namun penuh makna.
“Sang Kumbo itu bukan sekadar tokoh wayang. Ia adalah cermin manusia yang berjuang melawan hawa nafsu dan godaan duniawi. Wayang bukan hanya tontonan, tapi juga tuntunan,” katanya disambut tepuk tangan penonton.
Sementara itu, sinden senior Sutarmi mengenang kebersamaannya dengan almarhum Ki Narto. “Beliau bukan hanya dalang, tapi seniman tulus yang peduli pada bangsa. Gending ciptaannya, seperti Jakarta Indah hingga mars Jawa Tengah, sarat pesan moral dan nasionalisme,” ujarnya haru.
Warisan Tak Ternilai
Ki Nartosabdo, yang wafat pada 1985, meninggalkan jejak panjang dalam seni pedalangan dan karawitan. Karya-karyanya masih dipelajari, dimainkan, dan menginspirasi generasi penerus.
“Ki Narto bukan hanya dalang, tetapi guru kehidupan,” kata Dr. Widodo, akademisi Unnes. Adapun Prof. Dr. Dhanang Respati Puguh menambahkan, “Beliau tak pernah lelah berkarya. Apa pun bisa beliau jadikan tembang. Kini tugas kita adalah merawat dan melestarikannya.”
Pagelaran yang berlangsung hingga dini hari itu menutup peringatan satu abad kelahiran Ki Nartosabdo dengan pesan mendalam: budaya adalah kekuatan, dan melestarikannya adalah bagian dari perjuangan kebangsaan. (Christian Saputro)




