Jakarta – Pameran Bersama bertajuk : Subliminal Maya, In Flux and Form of Being di Ruci Artspace, Jakarta. Pameran bersama perupa Khadir Supartini, Kuncir Sathya Viku, dan M.S Alwi dikuratori oleh Sudjud Dartanto dibuka, Rabu (29/05/225). Sedangkan pameran berlangsung selama sebuan penuh hingga 29 Juni 225.
Sudjud mengatakan, pameran “Subliminal Maya: Dalam Arus dan Bentuk Keberadaan”ini adalah sebuah bentuk seni yang mengeksplorasi kedalaman psikologis, sosial, dan spiritual yang terus berubah.
“Di tengah pusaran globalisasi, multipolaritas, dan disrupsi digital, pemahaman kita tentang realitas berubah, membuka ruang untuk pertanyaan mendalam tentang siapa kita, makna spiritualitas di era ini, dan bagaimana kita memposisikan diri di tengah arus perubahan dan transformasi yang tak terelakkan,” ujar Sudjud dalam kuratorialnya.
Pameran ini, lanjut Sudjud Dartanto, menampilkan tiga seniman muda—Khadir Supartini, Kuncir Sathya Viku, dan M.S. Alwi—tidak hanya memperkaya wacana tentang seni kontemporer dan global.
Lebih dari itu, pameran ini mengungkapkan makna yang mengalir dari pengalaman individu dan kolektif.
Menurut Sudjud judul “Subliminal Maya” sendiri adalah referensi implisit pada realitas berlapis, di mana permukaan yang terlihat—karya seni fisik—memberi petunjuk pada kebenaran atau ilusi yang lebih dalam yang sering tersembunyi, seperti bisikan dari bawah sadar.
Pembacaan karya-karya yang dipamerkan, ungkap Sudjud, adalah produksi interpretasi, upaya untuk mengungkap lapisan-lapisan subliminal ini. Ini bukan sekadar keputusan estetis; pilihan media, skala, dan bentuk yang disengaja oleh seniman adalah bagian integral dari upaya mereka untuk mengungkapkan “bentuk keberadaan” yang tersembunyi di dunia yang terus “berubah”—bergerak, dalam gerakan.
“Sifat fisik karya seni—material, dimensi, dan bentuk—bukanlah kebetulan; itu adalah medium di mana konsep abstrak “realitas subliminal” diwujudkan secara fisik, memungkinkan kita untuk terlibat langsung dengan proses dan kondisi keberadaan yang mendasarinya. Konsep “Dalam Arus” menangkap fluiditas dunia dan identitas yang berubah,” papar Sudjud.
Khadir Supartini, lanjut Sudjud, mengeksplorasi kondisi mental dan emosional manusia melalui kosakata ekspresionis, surealis, dan psikedelik, menggunakan sapuan kuas spontan dan warna neon.
“Figur-figur manusia yang sering terdistorsi menjadi kritik sosial dan refleksi intim tentang pengalaman batin universal,” jelasnya.
Sedangkan Kuncir Sathya Viku mensintesis warisan budaya Bali dan spiritualitas tradisional ‘rerajahan’ dengan surealisme pop dan seni jalanan. Palet satirikal dan gaya ‘neo-dekoratif-magis’nya menghidupkan kembali simbol-simbol leluhur dalam kerangka kontemporer yang mengkritik komersialisasi sambil menegaskan kesinambungan budaya. “ Kuncir menyajikan “Bentuk Keberadaan” mengungkapkan kebenaran subliminal yang tertanam dalam realitas dan konstruksi identitas,” jelas Sudjud.
Semenetara M.S Alawi menggambar—di antara lain cerita rakyat Banda Neira dan mitos lokal, mencampurnya dengan narasi global—seperti perang, pelanggaran, fiksi ilmiah melalui artefak fiksi.
“Karyanya menantang narasi sejarah dominan dan membuka ruang untuk sejarah alternatif yang terpinggirkan,” ungkapnya.
Sudjud menegaskan pameran ini lebih dari sekadar ritual artistik; ini adalah kesempatan untuk terlibat dalam dialog intelektual tentang spiritualitas, identitas pascakolonial, kritik sosial, dan ketahanan. Karya-karya yang dipamerkan mengeksplorasi perjalanan internal, menciptakan ruang untuk refleksi dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia, sambil mengangkat narasi kritis yang mendorong kesadaran dan perubahan sosial.
Pada akhirnya, tandas Sudjud, pameran ini berusaha untuk menavigasi kompleksitas keberadaan dan potensi seni sebagai medium untuk pemahaman diri dan transformasi sosial, memanfaatkan semangat ‘pencerahan’ yang lahir dari interaksi antara seni dan pemikiran. (Christian Saputro)




