Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tradisi tinggal di Tembalang Semarang.
Dalam diam tubuhnya bicara. Dalam gerak ia mengukir jejak zaman. Paminto Krisna adalah seniman yang melintas batas disiplin—perupa, penari, aktor wayang orang—dan tak satu pun darinya ia pisahkan dari tubuhnya yang menjadi altar perjumpaan antara masa lalu dan kekinian.
Lahir dan besar dalam tradisi Jawa yang lekat dengan ritus dan simbol, Paminto bukan sekadar pelestari budaya, melainkan penafsir ulang yang jernih dan berani. Ia bukan hanya menghadirkan karya, tapi membongkar ulang makna-makna lama, lalu merakitnya kembali dalam bahasa visual, gerak, dan bunyi yang lebih cair, lebih menggugah.
Tubuh sebagai Teks, Gerak sebagai Doa
Sejak muda, Paminto telah menjejakkan kaki di panggung Wayang Orang Ngesti Pandowo* sebuah rumah besar seni pertunjukan klasik yang ia cintai dan rawat hingga kini. Dalam tokoh-tokoh seperti Karna, Werkudara, bahkan punakawan, ia membaca naskah bukan dari kertas, melainkan dari tubuhnya sendiri. Ia mengolah setiap gerak sebagai doa, setiap tatapan sebagai puisi, dan setiap adegan sebagai meditasi yang menggali lebih dalam makna manusia.
Rupa sebagai Cermin Ingatan
Sebagai perupa, Paminto mengusung tubuh dan simbol-simbol tradisi ke atas kanvas. Goresannya tidak sekadar estetis, tetapi adalah jejak dari pengalaman tubuh yang telah menyerap ratusan pertunjukan, ratusan malam latihan, dan kontemplasi panjang atas identitas budaya Jawa. Ia memotret ingatan kolektif, trauma, spiritualitas, dan pertanyaan tentang “siapa kita kini” dalam bentuk-bentuk visual yang reflektif.
Seni sebagai Laku Hidup
Paminto bukan seniman yang hidup dari seni. Ia hidup *di dalam* seni. Baginya, berkesenian adalah laku, bukan profesi. Ia hadir di banyak ruang budaya bukan untuk merayakan dirinya, tetapi untuk menyampaikan sesuatu yang lebih luas—tentang warisan, keterhubungan antar manusia, dan kesunyian yang menghidupi semesta.
Melalui karya dan tubuhnya, Paminto Krisna mengajarkan bahwa tradisi tidak harus dibekukan dalam museum; ia bisa menari, berbicara, dan terus tumbuh bersama zaman—asal ada jiwa yang jujur dan tubuh yang setia menghidupinya. (*)