Semarang – Warga Kalialang Lama berkumpul di tepian Sungai Kali Kripik,Gunungpati,Semarang,Sabtu (24/05/2025). Mereka tak hanya datang untuk menyaksikan pertunjukan atau mengikuti Festival Labuhan Kali, tapi juga untuk berbagi cerita dan memaknai kembali relasi mereka dengan sungai yang telah lama menjadi bagian dari hidup sehari-hari.
Forum bertajuk “Sungai dan Warga: Dinamika Sungai Kripik dengan Warga Kalialang Lama” menjadi titik refleksi dalam rangkaian Festival Labuhan Kali: Bantaran yang digagas oleh PekaKota Institute. Forum ini bukan sekadar diskusi formal, tetapi ruang mendengar: mendengar cerita warga, mendengar suara akar rumput, dan mendengar ingatan yang nyaris luput dari peta pembangunan kota.
Dalam forum kali ini, menghadirkan pembicara dari warga Kalialang yang diwakili Sri Anaroh, dan dari kalangan akademis hadir Hotmauli Sidabalok SH., C.N., M.Hum.
Forum dibuka dengan Sri Anaroh mengenang bagaimana dahulu rumah-rumah warga memiliki batas alami dengan sungai. Di sepanjang bantaran, warga menanam berbagai jenis tanaman sebagai bentuk kepedulian dan upaya menjaga aliran air tetap bersih dan stabil. Bagi mereka, sungai bukanlah entitas asing, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan—tempat bermain anak-anak, sumber air untuk mencuci dan mandi, serta ruang interaksi sosial yang hidup.
“Dulu rumah-rumah punya batas dengan sungai. Warga biasa menanam tanaman di sepanjang bantaran untuk menjaga aliran air,” ungkap Sri Anaroh, tokoh warga Kalialang Lama, saat mengenang masa lalu.
Sungai, dalam ingatan warga, bukan sekadar aliran air atau batas sempadan. Ia adalah ruang hidup—tempat bermain, mandi, mencuci, berkumpul, dan berbagi kehidupan. Namun seiring waktu, pendekatan terhadap sungai dalam kebijakan publik semakin teknokratis: memisahkan manusia dari air dan menjauhkan warga dari tempat yang dulu begitu dekat secara emosional.
“Apakah sungai hanya menjadi latar, atau justru menjadi ruang hidup yang hadir dalam keseharian warga secara alami?” menjadi pertanyaan pemantik dalam forum tersebut.
Sementara itu, Hotmauli Sidabalok, akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata, menekankan pentingnya menjaga kesinambungan nilai dan memori tentang sungai dari generasi ke generasi. Ia menyoroti bahwa kepedulian generasi muda terhadap lingkungan, khususnya sungai, sangat bergantung pada sejauh mana cerita dan pengalaman generasi tua bisa diwariskan dan terus dihidupkan dalam ruang komunitas. “Perlu ada upaya menyambungkan memori tentang sungai dari generasi tua ke muda, agar generasi muda lebih peduli,” tuturnya.
Forum juga menjadi ruang konfirmasi bagi para pemangku wilayah. Ketua RW 1 Kalialang Lama, Agus Suhardiyanto, menjelaskan bahwa warga telah berinisiatif melarang praktik pengerukan sungai, yang justru banyak dilakukan oleh pihak luar.
“Kami sudah tegaskan, warga tidak boleh mengeruk sungai. Yang melakukan itu biasanya dari luar kampung,” jelas Pak Agus.
Lurah Sukorejo, Dhimas Enggar Divantoro, turut menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas pihak dalam menjaga kelestarian sungai. Ia menyatakan komitmennya untuk menjalin koordinasi dengan berbagai instansi agar upaya warga mendapat dukungan yang lebih kuat secara struktural.
“Harapannya ke depan kita bisa membangun kolaborasi yang lebih konkret antar pihak,” ucap Dhimas.
Forum ini memperlihatkan bahwa sungai bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga soal relasi sosial, kebudayaan, dan keberlanjutan hidup. Dalam Festival Labuhan Kali: Bantaran, khususnya melalui PekaKota Forum, sungai kembali dimaknai sebagai nadi komunitas—yang mengalirkan air, tapi juga memori dan harapan.
Festival boleh usai, tetapi suara warga Kalialang Lama tak berhenti. Pengetahuan yang tumbuh di forum ini diharapkan terus mengalir kembali ke tengah kampung, menjadi dasar untuk menjaga fungsi dan masa depan Sungai Kali Kripik sebagai ruang hidup bersama. (Christian Saputro/ril)