Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis penyuka literasi tinggal di Tembalang, Semarang. *)
Di tengah gegap gempita Tembalang—yang riuh oleh deru motor mahasiswa dan geliat kos-kosan—terselip sebuah ruang kecil yang menolak gaduh. Di sudut Jalan Tirto Agung Barat 1 no.4, berdiri tenang Amerta Home Brewer, kedai kopi yang tak sekadar menjual seduhan arabika dan robusta, tetapi juga menyajikan aroma sunyi, obrolan panjang, dan permenungan sastra.
Sejak berdiri tahun 2020, Amerta telah tumbuh menjadi tempat yang tak tergesa. Di sana, buku-buku tak hanya dipajang, tapi dibaca. Puisi tak sekadar dilantun, tapi dirasakan. Komunitas tak sekadar bertemu, tapi bertumbuh. Ia menjadi hidden gem yang menolak menjadi sekadar “tempat nongkrong.”
Kini, dalam gelaran Penta Klabs 5, Amerta ikut meracik makna dalam tajuk besar “Tulang Lunak Bandeng Juwana”—sebuah panggilan untuk menyelami ketahanan komunitas kesenian di Semarang. Melalui Pekan Literas Amerta menjelma menjadi semacam bengkel kata dan rasa.
Setiap Jumat di bulan Agustus 2025, ruang itu dipenuhi gelas-gelas kopi yang mendampingi aktivitas literasi:
Pekan Baca Amerta membuka halaman demi halaman puisi Theoresia Rumthe. Bait-bait dalam “Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi” dibedah bukan hanya untuk dimengerti, tapi untuk dihayati.
Lokakarya Linocut menyatukan seni visual dan kepekaan naratif dalam tema “Jejak yang Tumbuh.”
Temu Puisi dan Semalam Lebih Dekat membuka ruang bagi suara-suara yang jarang terdengar: suara hati, suara resah, suara yang tak sempat ditulis menjadi status.
Kolaborasi ini bukan sekadar program. Ia adalah pengakuan: bahwa di kota sebesar Semarang, ruang-ruang kecil seperti Amerta memiliki kekuatan besar untuk menjaga waras, menyemai gagasan, dan memelihara kebudayaan.
Dalam lanskap kebudayaan yang kian terfragmentasi, Pekan Literasi di Amerta Home Brewer adalah perlawanan lembut—yang dilakukan dengan membaca, menulis, dan secangkir kopi. Karena kadang, cara paling tenang untuk bertindak adalah duduk, mendengar, dan memaknai.
Di bawah cahaya redup dan uap kopi yang mengambang pelan, kita tahu: kata-kata masih punya rumah. Dan Amerta—sebagaimana seni dan sastra—masih terus menyala di sudut yang sunyi.
*) Ditulis based on realise by @kolektif Hysteria.




