Bandarlampung — Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Launching Buku “Toponimi Bandarlampung” dan “Toponimi Sumatra Bagian Selatan” di Taman Budaya Lampung, Rabu (22/10). Kegiatan ini menjadi bagian penting dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) IV Provinsi Lampung, yang berlangsung sejak 21 hingga 26 Oktober 2025.
Acara pembukaan PKD IV dijadwalkan dibuka langsung oleh Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., M.M., dengan menghadirkan berbagai agenda budaya, diskusi literasi, serta peluncuran karya ilmiah yang merekam jejak sejarah penamaan tempat di Lampung dan Sumatra bagian selatan.
Dua buku penting terbitan Akademi Lampung kerjabareng Pustaka LaBrak Bandarlampung tentang toponimi tersebut ditulis oleh Iwan Nurdaya Djafar dan Anshori Djausal, yang secara simbolis bakal menyerahkan buku karya mereka kepada Gubernur Lampung sebagai bentuk dedikasi terhadap pelestarian sejarah dan identitas kultural daerah.
Selain peluncuran buku, acara juga diisi dengan bedah buku yang menghadirkan narasumber dan pembahas dari berbagai kalangan. Untuk buku Toponimi Bandarlampung, pembicara utama adalah Iwan Nurdaya Djafar (Penulis & SEkretaris Akaemi Lampung) bersama pembahas Dedi Amrullah, Wakil Wali Kota Bandarlampung. Sementara buku Toponimi Sumatra Bagian Selatan Pembicara utama oleh Anshori Djausal (Penulis & Ketua Akademi Lampung) , dengan pembahas Maspriel Aries, jurnalis dan pegiat literasi. Sedangkan akan bertindak selaku moderator Dr. Khaidarmansyah, dosen IIB Darmajaya, anggota Akademi Lampung
Toponimi: Ilmu tentang Nama dan Identitas
Toponimi, atau ilmu tentang asal-usul nama tempat, merupakan cabang dari onomastika—kajian ilmiah mengenai makna dan sejarah nama diri. Dalam konteks budaya Lampung, toponimi memiliki nilai penting karena mengungkap hubungan antara manusia, sejarah, dan lingkungan geografis yang mereka diami.
Buku Toponimi Bandarlampung menyajikan 14 bab pembahasan mendalam mengenai nama-nama tempat di kota Bandarlampung, baik yang bersifat alami seperti sungai, bukit, dan gunung, maupun buatan seperti kelurahan, perumahan, pasar, rumah ibadah, dan sekolah.
Penulis menelusuri makna di balik nama-nama lama yang nyaris terlupakan, termasuk kisah asal-usul wilayah Telukbetung yang telah menjadi pusat kehidupan sejak abad ke-17. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Bandarlampung telah berusia 343 tahun, dengan hari jadi yang ditetapkan pada 17 Juni 1682.
“Melalui pelacakan toponimi, kita tidak hanya membaca nama, tapi juga mendengar suara masa lalu,” ujar Iwan Nurdaya Djafar dalam sesi bedah buku. “Buku ini berupaya menjembatani generasi kini dengan akar sejarah kotanya.”
Sementara itu, buku Toponimi Sumatra Bagian Selatan memperluas pembahasan hingga wilayah lain di luar Lampung, mengulas asal-usul nama dari berbagai daerah dengan pendekatan sejarah, linguistik, dan antropologi.
Pelestarian Bahasa dan Budaya Melalui Nama
Selain aspek historis, kedua buku ini juga menyoroti pentingnya menjaga penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam penamaan tempat. Para penulis mengingatkan bahwa maraknya penggunaan istilah asing dalam penamaan perumahan, pusat perbelanjaan, dan kawasan modern dapat menggerus identitas lokal. “Bahasa adalah cermin kebudayaan. Menjaga nama-nama asli berarti menjaga jati diri kita,” kata Anshori Djausal, yang juga merupakan tokoh kebudayaan Lampung.
Acara peluncuran buku ini menjadi bagian dari komitmen Pemerintah Provinsi Lampung dalam menghidupkan kembali kesadaran sejarah dan memperkuat literasi kebudayaan di tengah arus globalisasi.
Dengan semangat yang sama, Pekan Kebudayaan Daerah IV Lampung menghadirkan berbagai kegiatan lain seperti pameran seni rupa, pertunjukan tradisional, lokakarya batik Lampung, dan forum kebudayaan lintas komunitas. (Christian Saputro)