Catatan Christian Heru Cahyo Saputro, dari jurnalis dan penyuka seni.
Ledakan yang Membuka Agustus 2025, Semarang mendadak bergetar. Malam pembuka Penta K Labs 5 diawali dengan teriakan ribuan penonton yang bersatu dalam dentuman Efek Rumah Kaca. Lirik-lirik yang mengiris kesadaran sosial menyatu dengan gitar yang menderu, bass yang menghentak, dan sorot lampu panggung yang memecah gelap.
Kawasan Gedung Cagar Budaya Menara Syahbandar di Sleko, Kota Lama, malam itu tak lagi sekadar ruang pertunjukan; ia menjelma jadi katedral kecil bagi kebebasan berekspresi. Dari lorong hingga lapangan , anak muda bernyanyi bersama, membiarkan musik merayakan keresahan yang kita semua tahu tapi jarang berani ucapkan.
Tulang Lunak Bandeng Juwana
Tema besar festival ini: “Tulang Lunak Bandeng Juwana.” Sekilas terdengar kulineris, namun sebenarnya adalah metafora tentang daya lentur budaya kota: keras sekaligus bisa melunak, menjengkelkan tapi menyehatkan, rapuh sekaligus tangguh.
“Seperti bandeng presto, yang durinya dilumat hingga tak lagi menyakitkan. Begitu pula kami—dari militansi yang kaku, kami belajar melunak agar bisa terus hidup di ekosistem kota,” ungkap Adin Hysteria, Direktur Kolektif Hysteria.
Festival ini memang bukan pameran bergengsi ala plat merah. Ia adalah laboratorium urban yang merayakan kebudayaan pinggiran: dari hip hop hingga trash metal, dari organ tunggal hingga pameran zine, dari obrolan hantu hingga sketsa dadakan.
Seni yang Menolak Dikurung
Sepanjang bulan Agustus, 17 komunitas dari berbagai kota berjejal dalam puluhan aktivasi. Tidak ada sekat antara seniman dan penonton. Zine berpindah tangan di lapak kecil, musik metal meledak dari panggung darurat, tarian dan batik digelar di ruang-ruang terbuka.
“Di sini kami tidak tampil sebagai musik kelas dua. Kami sejajar dengan pembatik, dengan perupa, dengan penulis. Itu yang bikin kami merasa dihargai,” ujar Rudi Murdock, vokalis gaek band trash metal lokal Radical Corp.
Doa di Tengah Riuh
Meski penuh dentuman, festival ini tahu cara memberi ruang sunyi. Di sebuah malam, sebelum pertunjukan dimulai, penonton diajak hening sejenak: berdoa untuk Indonesia, untuk keluarga seniman yang sakit, dan untuk mengenang 100 tahun Ki Narto Sabdo, maestro wayang Semarang.
Momen itu seperti jeda: seakan seni, doa, dan kehidupan sehari-hari berpaut jadi satu simpul. Bahwa seni bukan sekadar tontonan, melainkan juga jalan untuk menenangkan hati.
Manifesto Tulang Lunak
Sebagai catatan politik sekaligus artistik, Hysteria merumuskan 16 Manifesto Tulang Lunak. Isinya sederhana tapi menusuk: memanfaatkan material terdekat, biasakan kolaborasi, jangan terlalu kreatif agar otak tidak capek, retas sistem yang ada, dan tentu saja—berdoalah.
Manifesto ini bukan sekadar dokumen. Ia adalah pengingat bahwa bertahan dalam ekosistem seni yang rapuh butuh keluwesan, bukan hanya keberanian.
Tarian di Akhir Malam
Jika pembukaan festival meledak dengan Efek Rumah Kaca, penutupannya justru sederhana, merakyat, dan penuh tawa. Skena lokal tampil silih berganti dengan organ tunggal, menghadirkan suasana akrab bak hajatan kampung.
Dan ketika malam makin larut, diskotik tiban—pesta dadakan dengan musik elektronik, lampu seadanya, dan tubuh-tubuh yang menari bebas—menjadi klimaks yang penuh energi. Tidak ada jarak antara seniman dan penonton. Hanya ada kebersamaan, peluh, dan kebebasan yang cair.
Semarang yang Lentur
Penta K Labs 5 menegaskan satu hal: Semarang adalah kota hibrida. Budaya lama dan baru beradu, keras tapi bisa melunak, rapuh tapi tangguh.
Hysteria, setelah dua dekade, membuktikan bahwa mereka tak sekadar bertahan. Mereka melunak, beradaptasi, dan tetap bersuara di tengah keterbatasan.
Dan ketika blencong festival padam, kita tahu: seni di Semarang bukan hanya nostalgia masa lalu, tapi juga strategi hidup di masa kini—lentur, merakyat, dan penuh kejutan. (*)




