Semarang, 13 Agustus 2025 — Penta K Labs 5 resmi digelar di kawasan Kota Lama Semarang dengan mengusung tema kuratorial yang unik: “Tulang Lunak Bandeng Juwana.” Program ini dirancang oleh Kolektif Hysteria sebagai refleksi terhadap dinamika kebudayaan urban, keberlanjutan komunitas, dan strategi bertahan di tengah minimnya dukungan struktural.
Menurut Direktur Kolektif Hysteria Akhmad Khoridin tajuk Tulang Lunak Bandeng Juwana dipilih sebagai metafora atas ketahanan komunitas budaya — seperti bandeng yang keras dan penuh duri, yang kemudian menjadi empuk dan dapat dinikmati setelah melalui proses presto. “Begitu pula komunitas-komunitas budaya di Semarang yang harus terus bersiasat dan lentur menghadapi tekanan struktural maupun kultural,” ujar Founder Hystetia membeber konsepnya.
Senada dengan itu kurator mencatat bahwa budaya kota seperti Semarang sangat cair, adaptif, dan hibrid. Banyak ikon budaya kota—mulai dari Bandeng Juwana, Wingko Babat, Warak Ngendog, hingga Manten Kaji—adalah hasil negosiasi antara berbagai identitas, bukan semata warisan murni. Hal ini menunjukkan kapasitas kota sebagai etalase kebudayaan, tempat berbagai ekspresi lintas akar bisa hidup dan diklaim secara kolektif.
Peta Lokasi Penta K Labs 5 mencakup area Menara Syahbandar sebagai panggung utama, ruang partisipatif “DITAMPART”, layar Hysteria, pop-up market, spot merchandise, mushola, hingga instalasi “Wall of Fame”. Acara ini menghadirkan musisi seperti Efek Rumah Kaca, Figura Renata, hingga BeverlyLine dan Loon.
Rangkaian program berlangsung dari 2 hingga 31 Agustus 2025, dengan sejumlah spot aktivasi ruang terbuka tersebar di beberapa lokasi di Kota Sdmarang yang mengundang partisipasi publik.
Dengan tetap mengingatkan pengunjung pada aturan dasar seperti tidak membawa hewan, tidak membuang sampah sembarangan, dan menjaga barang pribadi, Penta K Labs 5 menjadi ruang kreatif inklusif yang menggabungkan seni, komunitas, dan kesadaran urban secara egaliter.
Diselenggarakan dengan dukungan dari Dana Indonesia LPDP, acara ini menjadi bukti bahwa kebudayaan bisa tumbuh dan bertahan — bahkan dari tekanan sekalipun — seperti bandeng yang tulangnya dilunakkan, namun tetap lezat dan penuh nilai. (Christian Saputro)




