Catatan Kecil : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni.
Di lantai dua Rumah Po Han, Semarang, suasana terasa lebih akrab daripada sebuah pemutaran film biasa. Ruang itu disulap menjadi “Rumah Bermain”, tempat orang-orang bisa duduk bersisian, menonton, lalu berbincang leluasa.
Kamis malam, 21 Agustus 2025, di ruangan “Bioskop”—ruang intim pemutaran dan diskusi film pendek bertajuk “Angkong & Perjalanannya”, bagian dari rangkaian Simposium Penta Klabs 5.
Berkaitan engan tajuk program, Angkong—gerobak beroda yang dahulu ditarik manusia—menjadi titik berangkat bagi lima film pendek yang diputar. Ia bukan sekadar alat angkut, melainkan penanda zaman: saksi perubahan kota dari denyut kemanusiaan ke denyut perdagangan. Melalui film-film pilihan, publik diajak menelusuri bagaimana simbol sederhana itu menyimpan kisah sosial, sekaligus renungan personal.
Daftar film yang mengisi layar malam itu: Hadiah dari Hujan (Aei Raa, 2025), Plumeria Alba (Tatang A. Riyadi, 2021), 1 (Radika A. Aldryan, 2024), Legi (Anang Saptoto & Muhammad Natsir Dabey, 2025), serta Arus Pendatang (Wahyu Budiman Dasta, 2024).
Diskusi berlangsung santai, dipandu Izza. Tatang A. Riyadi, sutradara Plumeria Alba, sebagai naras umber hadir memberi kesaksian kreatifnya. Ia bercerita bagaimana awalnya ia berkecimpung di musik, lalu perlahan menjejak ke dunia film melalui komunitas Kakek Aneh Film dan Sarekat Kain. Karyanya, kerap menyentuh fenomena urban dengan pendekatan personal sekaligus eksperimental.
Film Plumeria Alba, yang ditonton bersama malam itu, menjadi contoh: dokumenter yang tidak menuruti pakem dokumenter. Ia terasa asing bagi sebagian penonton, tapi justru di situlah daya tariknya—sebuah usaha menggoyang persepsi kita tentang “apa itu film dokumenter.”
Diskusi pun mengalir ke soal teknis: editing, tata suara, hingga bagaimana sutradara menyeimbangkan antara eksperimen dan kebutuhan narasi. Penonton bebas menanggapi, berbagi tafsir, bahkan mengaitkan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Suasana seperti ini membuat forum terasa bukan sekadar acara formal, melainkan ruang belajar kolektif yang hidup.
“Yang menarik dari diskusi seperti ini, film tidak berhenti di layar. Ia membuka percakapan, membiarkan kita masuk ke ruang-ruang baru yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya,” ungkap Giovanni seorang penonton
Di Penta Klabs 5, film bukan sekadar tontonan. Ia menjadi pintu untuk melihat ulang kota, mengingat jejak transportasi sederhana bernama angkong, hingga merenungkan kembali bagaimana masyarakat membangun kebersamaan. Rumah Po Han malam itu menjadi bukti: ruang kecil bisa menjelma rumah ide besar, ketika seni bertemu cerita, dan film bertemu percakapan. (*)