Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tradisi tinggal di Tembalang Semarang.
Di tengah derasnya arus zaman yang terus menuntut kebaruan, Dani Iswardana memilih untuk berjalan menembus waktu—menapaki jejak-jejak tradisi yang nyaris sunyi. Ia bukan sekadar pelukis. Ia adalah penyelam makna, penenun narasi, dan penjaga nafas wayang beber, sebuah seni pertunjukan gambar gulung yang telah hidup sejak abad ke-14.
Lahir dari ketekunan dan kecintaan terhadap budaya Jawa, Dani mengawali perjalanannya di panggung seni sejak kuliah di STSI (kini ISI) Surakarta pada tahun 1993. Di sana, pada semester awal, ia bersentuhan untuk pertama kali dengan wayang beber, lewat mata kuliah wajib melukis di atas kain dan kaca. Dari sanalah benih cinta pada medium klasik ini tumbuh menjadi keteguhan. Selama lebih dari dua dekade, ia mengabdikan dirinya pada dunia yang menyeberangi antara rupa dan cerita.
Karyanya bukan sekadar reproduksi sejarah. Dani membawa wayang beber ke dalam konteks kekinian, menjadikannya ruang dialog antara masa silam dan masa kini. Warna-warna ekspresif, garis-garis yang bersenyawa antara klasik dan kontemporer, serta narasi yang kaya lapisan—semua itu menjadi ciri khas karyanya. Ia merespons dunia dengan spontanitas, namun tetap berpijak pada riset mendalam dan spiritualitas budaya yang kuat.
“Karya saya kemarin itu lebih ke respon spontan,” ujarnya dalam suatu kesempatan, “*tapi tetap mengeksplorasi tentang wayang beber, sesuatu yang saya tekuni selama 20 tahun. Wayang beber banyak mengambil inspirasi dari cerita Panji.”
Cerita Panji, yang menjadi jiwa dalam sebagian besar karya Dani, baginya bukan sekadar dongeng kuno, melainkan cermin dari dinamika manusia yang universal: cinta, pengembaraan, pencarian jati diri. Dalam setiap gulungan karyanya, Dani menghidupkan kembali nilai-nilai luhur, namun dibalut dengan semangat zaman yang terbuka.
Pamerannya telah melintasi batas geografi: dari ruang-ruang budaya di kota-kota Indonesia hingga panggung-panggung seni di Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, dan Prancis. Ia bukan hanya membawa karya, tapi juga membawa pesan—bahwa warisan budaya Nusantara masih bernapas, masih relevan, dan masih bisa menggugah dunia.
Dalam setiap guratan kuasnya, Dani Iswardana membuktikan bahwa wayang beber bukanlah fosil budaya, melainkan tubuh hidup yang terus tumbuh, bernyanyi dalam bahasa zaman, dan menghidupkan kembali memori kolektif bangsa. Ia tak hanya melestarikan, tapi juga menafsirkan, menyulam ulang, dan menghadirkan kembali ruh-ruh masa lalu ke dalam perbincangan hari ini.
Melalui dirinya, kita diajak bukan hanya untuk melihat lukisan, tetapi untuk membaca zaman—melalui gulungan cerita yang tak henti bicara. (*)




