Jakarta, 12 Agustus 2025 – Di tengah bayang kemerdekaan yang menapak usia ke-80 tahun, pemerintah Republik Indonesia mempersembahkan sebuah penanda yang kecil bentuknya, tapi besar maknanya: Prangko Prisma Para Pendiri Bangsa, Sebuah karya filateli yang bukan hanya untuk dikoleksi, tapi juga direnungi. Peluncuran resmi dilakukan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta—sebuah tempat yang sendiri menyimpan detak awal republik ini disusun dari kata-kata dan tekad.
Prangko ini memuat 79 wajah tokoh yang menjadi fondasi republik—dari pemuka agama, pejuang kemerdekaan, tokoh pergerakan, hingga sosok minoritas yang kerap terlupakan dalam narasi besar kebangsaan. Satu tambahan gambar gedung BPUPKI menjadi simbol ruang perdebatan yang dulu hangat menyusun dasar-dasar negara.
Yang paling menggugah, barangkali, adalah pengakuan terbuka terhadap peran tokoh-tokoh Tionghoa dalam sejarah pembentukan bangsa. Di antara wajah-wajah itu, ada lima nama yang menjadi gema dari sejarah yang lama tersisih:
Liem Koen Hian, wartawan dan nasionalis pelopor kebangsaan
, Oei Tjong Hauw, tokoh pergerakan
Oei Tiang Tjoe, diplomat dan pegiat kemerdekaan
. Tan Eng Hoa, anggota BPUPKI, penyumbang penting dalam sidang-sidang dasar negara
79. Yap Tjwan Bing, dokter dan pejuang kemanusiaan
Kelima nama ini adalah pengingat bahwa Indonesia bukan hanya milik satu golongan, tapi dibangun dari beragam tangan dan darah.
Prangko ini hanya dicetak 500 set secara terbatas dan didistribusikan melalui Museum Nasional dan Museum Naskah Proklamasi. Setiap paketnya dilengkapi booklet eksklusif berisi narasi singkat 79 tokoh tersebut—sebuah miniatur museum dalam genggaman.
“Prangko adalah kapsul waktu. Ia kecil, tapi menyimpan jejak sejarah yang bisa dikirim ke masa depan,” ujar perwakilan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dalam sambutannya. “Kami ingin generasi muda mengenali siapa yang pernah membangun tanah air ini, dari berbagai latar.”
Bersamaan dengan itu, prangko ini juga memperkuat narasi inclusivity—bahwa Indonesia adalah rumah bersama. Di usia delapan dekade ini, negara tidak hanya merayakan kemerdekaan dalam parade, tapi juga dalam upaya mengingat, merawat, dan menghormati mereka yang dahulu menjadi api dalam gelap.
Perayaan kemerdekaan bisa dilakukan dengan bendera, pesta rakyat, atau kembang api. Tapi lewat prangko—yang melintasi jarak dan waktu—kita merayakan lewat kenangan. Lewat wajah-wajah itu, kita mendengar kembali suara masa lalu yang berbisik: “Jangan lupa, negeri ini dibangun dari kita yang berbeda-beda.”
(Christian Saputro)




