Di lorong panjang sejarah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, nama Prof. Dr. dr. Hardhono Susanto, PAK (K) bergaung sebagai sosok guru besar yang bukan hanya teguh dalam keilmuan, tetapi juga hangat dalam pengabdian.
Lahir di Semarang pada 11 Mei 1955, beliau menapaki jalan panjang ilmu kedokteran dengan tekad yang teguh, dari Yogyakarta tempat beliau menimba gelar dokter di Universitas Gadjah Mada tahun 1979, hingga meraih derajat doktor dalam Ilmu Kedokteran pada tahun 1998. Jejak langkahnya tak berhenti pada akademisi semata, tetapi menjelma dalam pengabdian tridarma yang paripurna: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Sebagai pakar anatomi, beliau dikenal piawai menuntun generasi muda dokter memahami jantung ilmu kedokteran: tubuh manusia. Namun, di balik ketekunan akademik itu, Prof. Hardhono menunjukkan wajah lain yang tak kalah mengesankan: seorang organisatoris ulung. Dari kepengurusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI), hingga menjadi Dewan Pakar dan Ketua Bidang Penelitian di KONI Jawa Tengah, beliau menjembatani anatomi dengan dunia olahraga, kesehatan, dan kemasyarakatan.
Tak berlebihan jika kiprah beliau mengilustrasikan bahwa ilmu bukan hanya untuk ruang kuliah, melainkan juga untuk menggerakkan masyarakat.
Di ruang publik, beliau bukan hanya dikenal melalui artikel ilmiah dan buku teks kedokteran, tetapi juga lewat tulisan populer yang akrab di berbagai media. Dalam masa pandemi, suaranya yang lantang tak hanya menyuarakan edukasi kesehatan, tetapi juga berpadu dalam harmoni seni: bernyanyi, berkesenian, bahkan terlibat dalam pentas ketoprak dan wayang orang bersama sivitas akademika.
Dari panggung ilmiah hingga panggung budaya, beliau membuktikan bahwa ilmu dan seni sejatinya adalah dua wajah dari kebijaksanaan yang sama.
Lebih dari empat dekade pengabdiannya di Undip—dari CPNS muda tahun 1981 hingga purna tugas sebagai Guru Besar di tahun 2025—telah melahirkan jejak kepemimpinan: sekretaris dan ketua program doktor, ketua bagian anatomi, hingga promotor bagi belasan doktor muda. Prof. Hardhono adalah cendekia yang menumbuhkan cendekia, teladan yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga nilai-nilai kebajikan.
Kini, ketika memasuki masa purna tugas dengan semboyan “tetap bergas dan tetap bernas”, Prof. Hardhono tidaklah berhenti. Seperti petuah yang selalu beliau gaungkan, movement is medicine—bergerak adalah kehidupan.
Bagi beliau, purnabakti bukanlah akhir, melainkan kelanjutan pengabdian dalam bentuk yang lain. Seorang guru besar sejati tak pernah benar-benar berhenti, sebab warisannya adalah ilmu, semangat, dan keteladanan yang terus hidup dalam diri generasi penerus.
Curriculum Vitae
Prof. Dr. dr. Hardhono Susanto, PAK
Prof. Dr. dr. Hardhono Susanto, PAK, lahir di Semarang pada 11 Mei 1955. Beliau adalah sosok akademisi yang mengabdikan hidupnya pada dunia ilmu kedokteran, khususnya bidang anatomi, dengan integritas, dedikasi, dan jiwa pengabdian yang tak pernah pudar. Dengan NIP 19550511 198103 01 004, perjalanan kariernya dimulai sejak diangkat sebagai CPNS pada 1 Maret 1981, dan mencapai puncaknya ketika dianugerahi jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro pada 31 Maret 2008.
Pendidikan
Jejak akademik beliau sarat dengan perjuangan dan pencapaian:
Tahun 1979: Meraih gelar Dokter dari Universitas Gadjah Mada.
Tahun 1987: Mendapatkan Brevet Keahlian Anatomi dari Universitas Diponegoro.
Tahun 1998: Meraih gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran dari Universitas Gadjah Mada.
Tahun 2008: Ditetapkan sebagai Konsultan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI).
Dengan fondasi ilmu yang kokoh ini, Prof. Hardhono menegaskan dirinya sebagai pakar anatomi yang tidak hanya mengajar, tetapi juga meneliti, menulis, dan memberi kontribusi nyata bagi perkembangan kedokteran di Indonesia.
Riwayat Kepegawaian
CPNS: 1 Maret 1981 – Asisten Ahli Madya (IIIa)
Guru Besar: 31 Maret 2008 – Pembina IVa
Purna Tugas: 1 Juni 2025 – Pembina Utama IVe
Empat dekade pengabdiannya melintasi era delapan rektor dan sepuluh dekan Undip, sebuah catatan panjang yang menegaskan kesetiaan beliau pada almamater dan bangsa.
Jabatan Akademik & Kepemimpinan
Di lingkungan akademik, Prof. Hardhono tidak hanya hadir sebagai pengajar, tetapi juga pemimpin yang membangun pondasi bagi pendidikan tinggi kedokteran:
Sekretaris Program Doktor Ilmu Kedokteran/Kesehatan PPs-Undip (2000–2004; 2004–2008)
Ketua Bagian Anatomi FK-Undip (2008–2012)
Ketua Program Doktor Ilmu Kedokteran/Kesehatan PPs-Undip (2012–2016)
Beliau juga menjadi promotor bagi 18 doktor, membimbing generasi muda dalam pencarian ilmu hingga mencapai puncak akademik.
Keluarga
Dalam perjalanan hidupnya, beliau senantiasa didampingi istri tercinta, drg. Grace Widjaja, MM, serta dikaruniai dua anak, dua menantu, dan tiga cucu yang menjadi sumber kebahagiaan dan energi di balik kesibukan akademik maupun organisasi.
Keanggotaan & Kepengurusan Organisasi
Selain di dunia kampus, kiprah Prof. Hardhono juga membentang luas melalui berbagai organisasi profesi dan kemasyarakatan:
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan KONI Provinsi Jawa Tengah (2000–2008)
Dewan Pakar KONI Provinsi Jawa Tengah (2017–2025)
Ketua Umum Perhimpunan Pembina Kesehatan Olahraga Indonesia (PP KORI) Pengprov Jateng (2018–2026)
Anggota IDI (1980–sekarang); Divisi Kemahkamahan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Jawa Tengah (2011–2017)
Anggota Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI) sejak 1981; anggota International Federation of Association of Anatomist (IFAA)
Pengalaman Publikasi & Karya Ilmiah
Prof. Hardhono aktif menulis dan berbagi gagasan melalui berbagai media:
Penulis dan kontributor buku ilmiah serta populer.Pemakalah dalam forum ilmiah nasional dan internasional.Penulis artikel kesehatan populer di media cetak dan elektronik. Narasumber di berbagai kanal media, membawa pesan kesehatan untuk masyarakat luas.
Catatan Kehidupan
Prof. Hardhono adalah representasi sosok cendekia paripurna: seorang pendidik, peneliti, organisatoris, dan budayawan. Selain mengabdikan diri di dunia kedokteran, beliau dikenal aktif dalam seni budaya, bernyanyi, bahkan terlibat dalam pementasan ketoprak dan wayang orang bersama sivitas akademika Undip. Bagi beliau, ilmu pengetahuan dan seni adalah dua sisi mata uang yang sama: keduanya menghidupkan jiwa.
Dengan semboyan “tetap bergas dan tetap bernas”, beliau memasuki masa purna tugas bukan sebagai akhir, melainkan kelanjutan pengabdian dalam wajah yang berbeda.(Christian Saputro)