Oleh: Benny N.A Puspanegara
Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial, dan Publik
Sumaterapost.co – “Kalau masih ada yang berpikir pernyataan anak Menteri Keuangan, Yudo Sadewa, soal ‘80 persen pejabat punya mental nyolong’ hanyalah hiperbola atau guyonan sarkastik, mari kita hentikan ilusi itu sekarang juga. Ini bukan sekadar opini, bukan gosip kabinet atau headline sensasional. Ketika eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang pernah duduk di jantung pemerintahan, mengamini bahkan menegaskan ‘bisa lebih dari 80 persen’, kita sedang melihat kenyataan pahit birokrasi yang terlalu lama tertutup oleh retorika manis, jargon heroik, dan protokol formalitas.
Mari kita bicara fakta yang tidak bisa lagi ditutupi: mark up anggaran telah menjadi rutinitas yang dilegalkan secara diam-diam, barang yang seharusnya sampai ke rakyat hanya 10 persen yang terealisasi, dan proyek pemerintah berubah menjadi arena bermain para pejabat dengan ‘jurus rahasia’ mark up minimal 50 persen tanpa malu sedikit pun. Ironisnya, sistem pengawasan yang seharusnya menjadi tameng integritas justru ikut terseret, terbukti dari OTT KPK di Lampung, Riau, dan Bekasi, di mana pejabat daerah, aparat penegak hukum, dan bahkan orang tua pejabat terseret dalam pusaran korupsi.
Mental ‘nyolong’ ini bukan sekadar istilah provokatif. Ini sudah menjadi kultur laten birokrasi Indonesia, di mana pejabat bisa tampil memukau dengan janji anti-korupsi di podium atau media sosial, sementara di balik layar menjalankan permainan mark up, proyek fiktif, dan nepotisme ala mafia profesional. Dan lucunya, setiap OTT selalu menjadi ‘breaking news’ yang mengejutkan publik seolah skandal itu baru pertama kali terjadi. Padahal rakyat sudah hafal alurnya: mark up → proyek fiktif → uang negara lari → drama permintaan maaf di media.
Fenomena ini bukan hanya soal uang. Ini soal mentalitas yang telah diracuni oleh impunitas, kebiasaan, dan budaya proteksi antar elite. Ini soal sistem yang gagal menegakkan aturan dan masyarakat yang terlalu lama dijadikan penonton sandiwara mahal yang dibayar dengan uang rakyat. Dan jika ada yang masih menganggap ini hanya masalah birokrasi, kita perlu mendengar perspektif global: menurut Prof. Jeffrey Winters, seorang political scientist terkemuka asal Amerika, Indonesia pada dasarnya dikuasai oleh para maling. Pernyataan ini tidak hiperbolis, tapi sebuah diagnosis tajam tentang bagaimana kekuasaan dan korupsi telah menjadi simbiosis yang sulit dipisahkan.
OTT yang terjadi belakangan ini hanyalah puncak gunung es. Bupati, mantan pejabat, aparat hukum semua terseret. Tidak ada level jabatan yang aman. Bahkan mereka yang memposisikan diri sebagai elite reformis pun sering kali hanyalah bagian dari sandiwara.
Mental ‘nyolong’ telah menjadi skill dasar birokrasi, dan jika tidak ada reformasi nyata, rakyat hanya akan terus menjadi penonton pasif yang dibodohi sistem.
Sebagai pemerhati hukum, sosial dan publik, saya berani mengatakan: retorika manis anti-korupsi ala podium, ritual selfie di media sosial, atau janji penguasa tidak akan mengubah mental ‘nyolong’. Yang dibutuhkan adalah transparansi brutal, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan kontrol publik nyata. Integritas harus menjadi mata uang utama birokrasi, bukan proyek fiktif, mark up anggaran, atau proteksi antar elite.
Sudah saatnya rakyat menertawakan absurditas sistem, sekaligus menegakkan logika keras: jika elite birokrasi tetap bermain-main dengan integritas, mental ‘nyolong’ akan terus menertawakan kita semua. Alarm sudah berbunyi: masyarakat tidak lagi diam, publik menuntut pertanggungjawaban nyata, dan setiap pejabat akan dinilai bukan dari kata-kata, tapi dari tindakan yang terbukti. Jangan heran jika generasi mendatang menertawakan drama korupsi ini karena mereka akan menilai kita dari kemampuan kita menegakkan keadilan, bukan dari seberapa cantik headline anti-korupsi di media.
Ini bukan tentang menghina pejabat. Ini tentang memberikan cermin telak bagi birokrasi: integritas tidak bisa digoreng menjadi propaganda. Transparansi tidak bisa dijual sebagai lip service. Dan mental ‘nyolong’ tidak akan hilang dengan janji manis atau permintaan maaf ala sinetron. Inilah realitas pahit yang harus diterima, dipahami, dan diubah oleh semua elemen bangsa. Indonesia tidak bisa lagi diam, tidak bisa lagi dibodohi. Kalau birokrasi tidak berubah, maka budaya nyolong akan terus menertawakan kita semua sampai rakyat memutuskan bahwa sandiwara mahal ini harus diakhiri.” (ndy)




