Bandarlampung – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengatakan, Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), tetapi masih tertinggal dibanding negara lain.
Hal itu disampaikan Mantan Menteri Kelautan itu, ketika menyampaikan Orasi Ilmiah dalam acara wisuda mahasiswa Universitas Saburai Bandarlampung, di kampus perguruan tinggi tersebut, Senin (23/10).
Menurut Prof. Rokhmin, ketertinggalan Indonesia itu, karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar yang dapat diimplementasikan secara berkesinambungan.
“Karena, sejak awal era Reformasi, sampai saat ini, setiap ganti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota, kebijakan dan program nya berganti pula,” kata Rokhmin.
Ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan. Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. “Kita mengalami defisit pemimpin bangsa yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan,” tambahnya.
Rokmin Dahuri juga menilai, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompoknya. “Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya,” tegasnya.
Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing. Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja.
Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
Modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang mencapai 278 juta orang (BPS, 2022). Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar.
Modal dasar kedua, adalah kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sangat besar, baik SDA terbarukan (seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan keanekaragam hayati) maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), jenis mineral lainnya, dan bahan tambang.
Kekayaan SDA yang melimpah ini mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk di dunia.
Modal dasar ketiga adalah posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dan di antara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung (hub) Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) atau perdagangan global. Dimana, sekitar 45% dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai rata-rata 15 trilyun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya.
Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip (surplus) secara berkelanjutan. Sayangnya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus.
Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari rendahnya pertumbuhan ekonomi (rata-rata di bawah 7% per tahun), tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi (kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya vs miskin), disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 56% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). (ab)




