Semarang — Sebuah upacara budaya yang menarik perhatian publik digelar di alun‑alun Depan Masjid Agung Kauman, Kota Semarang, pada Jumat, 24 Oktober 2025. Prosesi bertajuk “Kirab Pusaka Ki Ageng Pandanaran” dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Murwa Bumi (Ruwat Kutha).
Walikota Semarang Agustina Wilujeng Pramestutyi melalui Asisten III Pemkot Wing Wiyarso Poespojoedho, dalam sambutannya, mengatakan, kirab budaya yang menunjukan keharmonisan masyarakat Kota Searang ini baru pertama kali digelar. “Harapannya kegiatan kirab ini akan menjadi agenda rutin yang bakal digelar setiapa tahunnya,” ujar Wing.
Ditambahkannya, kirab budaya ini engajak masyarakt untuk mengingat sejarah katanya juga mengunguri-uri budaya leluhur. “Mudah-dahan peristiwa budaya ini bisa mnarik wisatawan untuk semakin banyak yang datang ke Kota Semarang,” imbuh Wing sebelum meresmikan kegiatan ini.
Jalan Pusaka, Doa dan Semangat Kota
Kirab ini dimulai pukul 16.00 WIB dari Aloon‑Aloon Masjid Agung Kauman dan diikuti dengan pawai pusaka serta iring‑iringan budaya, sebelum malam harinya dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit lakon Murwakala yang dipimpin oleh dalang KRA Ribut Caritonegoro.
Acara ini merupakan perpaduan antara tradisi spiritual, sejarah lokal, dan kesadaran kolektif akan karya budaya yang harus dilestarikan. Dengan tema Ruwat Kutha — penyucian kota — masyarakat Kota Semarang diajak menyaksikan bahwa artefak pusaka dan ritual bukan hanya pengingat masa lalu, tetapi juga jembatan menuju identitas kota dan komitmennya terhadap harmoni sosial.
Makna Ritual dan Pusaka
Pusaka yang dikirab memiliki makna simbolis yang dalam; menurut panitia, proses kirab ini dimaksudkan sebagai upaya memperkokoh rasa kebersamaan, menjaga warisan budaya, serta menata ulang energi kota agar tetap hidup, rukun, dan beradab.
Meski pu rinik hujan muali turun pelataran Masjid Agung Kauman, alunan gamelan dan detak langkah iring‑iringan akan menggema, menegaskan bahwa pusaka tidak hanya objek senyap, tetapi aspirasi yang bergerak dan dinamis.
Pelibatan Masyarakat dan Warisan Budaya
Rangkaian acara bukan saja milik komunitas tertentu, tetapi terbuka bagi masyarakat luas. Panitia berharap kehadiran warga—mulai dari pelajar, pegiat budaya, hingga wisatawan—akan memperkuat pesan bahwa budaya lokal adalah milik bersama, bukan hanya museum diam.
Melalui kirab ini, kawasan Kauman dan alun‑alunnya kembali ditegaskan sebagai pusat kegiatan budaya urban yang berakar kuat dalam tradisi Jawa dan kemudian bersinergi dengan dinamika kota modern.
Pertunjukan Malam: Wayang Kulit sebagai Simbol
Malamnya, lakon Murwakala disuguhkan sebagai puncak acara. Wayang kulit dipilih sebagai medium yang menggabungkan antara aspek ritual, estetika, dan narasi sosial. Dalam konteks Ruwat Kutha, pertunjukan ini menjadi refleksi bahwa kesucian dan kebijaksanaan bisa datang lewat cerita‑kisah kuno yang hidup di panggung kota.
Kirab Pusaka Ki Ageng Pandanaran dan Ruwat Murwa Bumi yang dilaksanakan di Masjid Agung Kauman, Jumat (24/10.2025) ini bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah tindakan kolektif—pengingat bahwa kota, sejarah, dan pusaka saling bersinergi. Ketika pusaka bergerak melalui jalanan Semarang, arti dan relevansi budaya turut bergerak bersama masyarakat.Bagi siapa pun yang hadir, ia bukan hanya menyaksikan parade pusaka, tetapi ikut merasakan detak kota yang tak pernah mati, dan menyetujui bahwa warisan tak akan lenyap jika terus dipikul oleh generasi yang mengingat. (Christian Saputro)


