SERGAI – Sumaterapost.co | Pengamat pers dan Dosen FISIP Universitas Medan Area (UMA), Assoc Prof. Dr. Dedi Sahputra, menegaskan bahwa media sosial bukan produk jurnalistik.
Dalam konteks hukum dan etika pers, ia menyatakan bahwa setiap wartawan harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik serta Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Media sosial tidak bisa disamakan dengan ruang jurnalistik resmi. Kritik boleh disampaikan, tetapi harus dalam koridor jurnalistik yang profesional,” ujar Dedi Sahputra Kamis (24/7/2025) kepada wartawan.
Ia menambahkan, penyampaian kritik melalui media sosial yang tidak memenuhi unsur karya jurnalistik berpotensi menimbulkan masalah hukum, apalagi jika ditujukan kepada pejabat publik tanpa verifikasi.
Pernyataan ini disampaikan menyusul pemeriksaan terhadap inisial PU, warga Perbaungan, Sergai yang diduga pemilik akun Facebook “Bang Yuka”, oleh Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Satreskrim Polres Serdang Bedagai (Sergai), Rabu (23/7) sore.
Namun demikian, Dedi Sahputra mengingatkan bahwa wartawan tidak boleh mencampuradukkan ruang jurnalistik dengan media sosial.
“Meski seseorang berprofesi sebagai wartawan, tidak serta merta setiap unggahannya di media sosial bisa dianggap sebagai karya jurnalistik,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya disiplin profesional dalam menyampaikan informasi ke publik.
Sebelumnya, PU diperiksa selama lebih dari dua jam di ruang Tipidter Polres Sergai terkait unggahannya yang diduga mencemarkan nama baik Bupati Sergai, Darma Wijaya alias Wiwik.
Unggahan PU yang berbunyi “Wiwik itu Bupati gak ada otak, gila melaporkan masyarakat ke Polres” menjadi dasar laporan resmi dari Darma Wijaya ke pihak kepolisian. Penyidik pun mulai melakukan proses penyelidikan lebih lanjut.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Sergai AKP Dony Pance Simatupang membenarkan pemeriksaan terhadap PU.
“Benar, telah dilakukan pemeriksaan terhadap pemilik akun Bang Yuka atas laporan Darma Wijaya alias Wiwik,” ungkapnya, Kamis (24/7). Ia menambahkan bahwa proses penyelidikan masih terus berjalan sesuai prosedur.
Di sisi lain, Kuasa hukum PU, Alamsyah SH , menyatakan kliennya baru bersedia memberikan keterangan setelah mengetahui bahwa pelapor adalah Darma Wijaya.
“Sebelumnya klien saya menolak karena belum tahu siapa pelapornya. Setelah dipastikan bahwa pelapornya adalah Darma Wijaya, barulah ia bersedia diperiksa,” ujar Alamsyah di Mapolres Sergai.
Alamsyah juga menekankan bahwa tulisan PU merupakan bentuk kritik terhadap jabatan Bupati, bukan pribadi Darma Wijaya.
“Tulisan klien saya menyebut ‘Wiwik itu Bupati gak ada otak’. Jadi konteksnya harus utuh, jangan dipotong. Itu kritik terhadap pejabat publik,” jelasnya.
Menurutnya, PU adalah seorang wartawan yang memiliki hak untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah, selama tetap dalam batasan hukum yang berlaku.
Ia berpendapat bahwa tindakan kliennya merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Undang-Undang Pers.
Dari informasi di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Sei Rampah, diketahui bahwa Darma Wijaya secara sah telah menambahkan alias “Wiwik” pada namanya melalui keputusan pengadilan pada Februari 2020.
Kasus ini pun menjadi perhatian publik dan komunitas pers, terutama menyangkut batas antara kritik sah dalam jurnalistik dan ujaran yang dinilai melanggar hukum di media sosial.
Reporter Bambang.