Benny N.A. Puspanegara Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial dan Publik
Sumaterapost.co – “Isu yang saat ini mencuat di Bandarlampung bukan lagi sekadar percikan kecil di pinggir panggung politik. Ini sudah berubah menjadi api kecil yang berpotensi membakar wibawa lembaga publik apabila tidak segera dijernihkan.
Saya perlu menegaskan dari awal: semua informasi yang beredar masih berupa dugaan sebagaimana diberitakan, melibatkan nama Anggota Komisi IV DPRD Kota Bandarlampung dari Fraksi Golkar, Heti Friskatati (HT) dan seorang pelaksana proyek revitalisasi sekolah, Yombi.
Namun justru karena masih dugaan, kewajiban lembaga resmi adalah memastikan kebenarannya bukan membiarkan rumor berkembang menjadi kecurigaan nasional.
Publik dikejutkan oleh dua lapis persoalan sekaligus:
1. Dugaan intervensi dan pengondisian proyek revitalisasi sekolah, dan
2. Isu sensitif terkait dugaan hubungan personal yang berlanjut pada pernikahan siri antara Heti Friskatati dan Yombi, di saat Yombi diduga masih terikat pernikahan sah secara hukum negara.
Mari kita bicara apa adanya:
Dalam dunia tata kelola yang baik, dua persoalan seperti ini bukan sekadar tabrakan kecil ini potensi kecelakaan besar antara etika, hukum, dan logika publik.
Dan jika salah satunya terbukti, apalagi keduanya, maka kita sedang menyaksikan satu contoh telanjang betapa rapuhnya disiplin moral sebagian pejabat publik kita.
Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sering saya ulang dalam berbagai forum:
‘Integritas pejabat publik bukan hiasan itu fondasi.
Kalau fondasinya retak, bangunannya pasti ikut goyah.’
Dugaan bahwa seorang pejabat publik menikah siri dengan pria beristri tanpa izin istri sah apalagi jika dikaitkan dengan potensi konflik kepentingan proyek bukanlah isu privat. Ini persoalan publik, persoalan etik, persoalan legalitas.
UU Perkawinan tegas berkata: seorang pria tidak dapat menikah lagi tanpa izin istri sah.
KUHP Pasal 279 menegaskan risiko pidana apabila seseorang menikahi wanita lain sementara masih terikat perkawinan yang sah.
Ini bukan pasal hiasan, ini pasal yang masih hidup dan dapat diberlakukan.
Saya juga ingin mengingatkan:
Pernikahan siri, jika benar terjadi tanpa izin istri sah, tidak hanya menimbulkan persoalan moral tetapi juga keruwetan perdata, mulai dari administrasi kependudukan hingga perlindungan hak-hak perempuan.
Pejabat publik seperti Heti Friskatati seharusnya paling memahami hal ini, karena standar etika legislatif lebih tinggi daripada masyarakat biasa.
Kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Kota Bandarlampung, saya hanya ingin bertanya dengan nada retoris:
Apakah tugas BK menjaga kehormatan lembaga, atau menjaga kenyamanan anggotanya?
Karena dalam situasi seperti ini, publik tidak butuh BK yang berperilaku seperti taman bunga indah dilihat tapi tidak ada fungsinya.
Publik butuh BK yang bertaring, yang menjalankan mandat, yang tidak takut menyentuh nama siapapun, termasuk Heti Friskatati, jika memang diperlukan.
Saya mendesak BK DPRD Kota Bandarlampung:
Segera lakukan pemeriksaan, buka proses secara transparan, dan berikan sanksi tegas bila ditemukan pelanggaran mulai dari teguran keras hingga rekomendasi pemberhentian jabatan.
Karena kalau BK bungkam, jangan salahkan publik jika mulai berpikir bahwa ‘kehormatan’ dalam Badan Kehormatan hanya tinggal nama.
Kepada petinggi Partai Golkar Lampung, saya juga ingin memberi pesan keras namun elegan:
Partai besar itu diuji bukan saat menang, tetapi saat menghadapi skandal anggotanya.
Jangan sampai Golkar tampil seperti rumah besar yang dindingnya kokoh tetapi fondasinya dihuni rayap.
Jika benar ada tindakan yang merusak citra partai, Golkar Lampung wajib mengambil langkah organisatoris: pemanggilan, klarifikasi, dan sanksi.
Partai politik yang sehat tidak memelihara masalah ia mengobatinya.
Kepada Heti Friskatati dan Yombi, saya mengimbau dengan sangat:
Segeralah memberikan klarifikasi resmi.
Diam itu bukan emas dalam perkara publik.
Dalam kasus seperti ini, diam justru berubah menjadi bahan bakar opini.
Dan opini publik itu punya satu kebiasaan:
berlari lebih cepat daripada fakta.
Saya tidak ingin DPRD kita berubah menjadi panggung sandiwara di mana naskahnya ditulis oleh rumor, dialognya dibacakan oleh isu, dan penontonnya adalah rakyat yang kelelahan.
Dewan seharusnya menjadi tempat lahirnya solusi, bukan lokasi drama moral yang membuat kita mengernyitkan kening sambil bertanya:
‘Ini lembaga legislatif atau episode sinetron yang lupa tamat?’
Sebagai pemerhati kebijakan hukum, sosial, dan publik, saya menegaskan:
Jangan ada pembiaran. Jangan ada keberpihakan. Jangan ada pembungkaman kebenaran.
Bila dugaan ini terbukti, maka tindakan tegas bukan hanya opsi itu kewajiban negara.
Saya akan terus memantau perkembangan persoalan ini.
Karena ketika integritas pejabat publik tergadaikan, yang jatuh bukan hanya martabat seseorang tetapi kepercayaan seluruh masyarakat kepada institusi negara.” (ndy)


