Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro
Ia datang bukan hanya sebagai pengajar,
tetapi sebagai penuntun arah,
seorang pendoa sunyi di altar ilmu pengetahuan,
yang tak sekadar menghafal nama otot dan tulang,
tetapi menghidupkan anatomi dengan jiwa.
Prof. Hardhono,
namanya menyelusup dalam sejarah panjang Fakultas Kedokteran Undip,
seperti aliran darah yang sabar,
menghidupi generasi demi generasi
dengan disiplin dan kasih seorang guru sejati.
Empat dekade lebih,
bukan waktu yang pendek.
Ia bukan hanya mengajar,
tapi menyemai—
dengan tangan yang telaten dan mata yang tajam
menangkap potensi tersembunyi murid-muridnya.
Sejak 31 Maret 2008 ia diangkat sebagai Guru Besar,
tapi jauh sebelum itu,
ia telah menjadi besar
di mata mahasiswa,
rekan sejawat,
dan siapapun yang bersentuhan dengan keteladanannya.
Ia bukan sekadar dokter,
tetapi pemahat karakter.
Bukan sekadar ilmuwan,
tetapi juga seniman jiwa.
Dalam forum ilmiah ia berbicara fakta,
tapi di panggung ketoprak dan wayang orang,
ia merayakan rasa—
dengan suara nyanyian yang mengalir bersama cerita rakyat.
Promotor 18 doktor muda,
sebuah silsilah keilmuan yang ia rawat dengan cinta.
Ia tidak sekadar mencetak gelar,
tetapi menyalakan semangat
agar api ilmu terus berpijar—
di laboratorium, ruang kuliah, hingga jalan sunyi penelitian.
Dan kini, ketika kalender menandai 1 Juni 2025
sebagai awal dari masa purna tugas,
beliau tidak menepi.
Tidak memilih senyap.
Tidak menanggalkan semangat.
Ia berkata,
“Purnabakti bukan pensiun dari hidup,
tetapi lahir kembali dalam bentuk pengabdian baru.”
Dengan semboyan:
“Tetap bergas, tetap bernas”,
ia melangkah, bukan mundur,
tetapi maju dalam wujud lain—
menjadi suluh di luar kampus,
menyulam ilmu dengan budaya,
menjaga nyawa nilai di tengah dunia yang tergesa.
Ia telah menulis di jurnal,
tapi juga menulis di hati.
Ia telah berbicara di seminar,
tapi lebih banyak lagi berbicara lewat teladan.
Prof. Hardhono—
bukan hanya nama dalam buku ajar anatomi,
tetapi narasi hidup
tentang dedikasi yang tulus,
ilmu yang merunduk,
dan pengabdian yang tak pernah usai.
Dalam sunyi purnatugas,
ia tetap berdetak—
seperti jantung
yang diam-diam
menghidupi.
Referensi: Catatan pada bionarasi purna tugas Prof.Hardhono Susanto, 1 Juni 2025




