Jakarta, 22 Juli 2025 – Puisi karya sastrawan Indonesia, Edy Samudra Kertagama dalam bukunya bertajuk : ARUTALA, berjudul “Malam Gerimis”, mendapat sorotan khusus dari penyair dan kritikus sastra India, Williamji Maveli.
Dalam sebuah interpretasi lintas budaya yang menyentuh inti eksistensi manusia. Dalam pembacaan puitis yang mendalam, Maveli menyebut karya Edy sebagai “meditasi puitis yang menggugah tentang kompleksitas kehidupan, kerinduan, dan transendensi.”
Dalam puisi “Malam Gerimis”, Edy Samudra mengeksplorasi ketegangan antara keindahan ciptaan dan hilangnya kepolosan, menghadirkan refleksi mendalam atas perjalanan waktu dan perasaan manusia yang rentan terhadap perubahan. Imaji gerimis yang berulang menciptakan suasana melankolis dan kontemplatif, menjadi latar bagi renungan tentang kesederhanaan hidup, kerinduan akan harmoni, dan kesadaran akan perubahan yang tak terelakkan.
Williamji Maveli menyoroti bagaimana metafora “doa mengumpulkan bunga” menyatu dengan nuansa spiritual dan perasaan kehilangan. “Ini bukan hanya puisi tentang cuaca atau kesedihan,” ujar Maveli dalam sebuah ulasan daring, “tetapi tentang cara manusia memaknai keindahan yang menyakitkan—di mana setiap keindahan selalu mengandung jejak kehilangan.”
Salah satu hal paling menarik bagi Maveli adalah simbolisasi Adam dan Hawa dalam puisi ini, yang merepresentasikan kepolosan awal umat manusia dan keterhubungan mendalam dengan alam. “Ada kerinduan akan dunia yang belum tercemar, namun juga kesadaran bahwa pertumbuhan menuntut kehilangan,” lanjutnya. Simbol “oasis” dalam puisi pun, menurut Maveli, bukan hanya perlindungan, melainkan juga pengasingan, sebuah paradoks yang memperkuat narasi puisi tentang pertumbuhan yang getir.
Persinggungan Spiritual dalam Puisi “Matahari Rumi”
Dalam sebuah pembacaan paralel, Maveli juga mengaitkan karya Edy Samudra dengan puisi sufi “Matahari Rumi”, yang juga ditafsirkan dalam konteks pengalaman spiritual yang mendalam. Jika puisi Edy menghadirkan perenungan eksistensial dan simbolik terhadap dunia nyata, “Matahari Rumi” membawa pembaca ke dalam dimensi transenden, menggunakan perumpamaan alam seperti hujan, bunga, bulan, api, dan angin sebagai lambang rahmat, bimbingan, dan cinta ilahi.
Menurut Maveli, kedua puisi ini berbicara dalam bahasa simbol yang serupa—penuh metafora dan imaji alam—namun membawa pembaca ke tujuan yang berbeda: Edy menuju rekonsiliasi dengan kehilangan dan perubahan, sementara Rumi mengarahkan jiwa menuju kesatuan mutlak dengan Tuhan.
Keduanya, menurut Maveli, memperlihatkan bagaimana puisi bisa menjadi jembatan antara realitas dan spiritualitas, antara dunia yang kita pijak dan kerinduan terdalam jiwa manusia.
Dialog Puisi Lintas Bangsa dan Batas
Interpretasi Williamji Maveli atas puisi Edy Samudra Kertagama membuka ruang dialog sastra lintas negara yang langka dan berharga. Ia menyebut puisi Edy sebagai “permadani kata yang bukan hanya indah, tetapi juga menyimpan gema spiritual dan filosofi timur yang dalam.” Melalui interpretasi ini, “Malam Gerimis” tidak hanya menggambarkan suasana hujan yang sunyi, tetapi menjadi lambang dari perjalanan batin manusia—dari kepolosan menuju kesadaran, dari keindahan menuju pengorbanan.
Karya ini menjadi contoh kuat bahwa sastra Indonesia memiliki kedalaman universal yang mampu bersanding dan bersuara bersama karya-karya spiritual dunia. Dengan simbolisme yang halus, Edy Samudra Kertagama telah memperlihatkan bagaimana puisi mampu menjangkau melampaui batas geografis dan spiritual, menghubungkan manusia dengan sejarah, alam, dan penciptanya. (Christian Saputro)




